Nikah/Keluarga

Kitab Manba’ussa’adah: Urgensi Menjaga Kesehatan Tubuh dalam Rumah Tangga

Sel, 25 Mei 2021 | 15:00 WIB

Kitab Manba’ussa’adah: Urgensi Menjaga Kesehatan Tubuh dalam Rumah Tangga

Untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan sehat, tentu membutuhkan anggota keluarga yang sehat pula.

“Membangun keluarga, berarti membangun seluruh anggota di dalamnya”. Hemat saya, dan ini sering saya sampaikan, bahwa statmen KH Faqihuddin Abdul Qadir ini merupakan inti sari dari kitab karyanya, Manba’ussa’adah. Sebuah kitab kecil—atau mungkin lebih tepat disebut risalah—yang disusun sebagai refleksi perlawanannya terhadap budaya patriarki, terutama terkait relasi dalam rumah tangga. Statemen itu, disampaikan Kang Faqih saat pembukaan acara Kelas Intensif Ramadhan selama 20 hari bersama 20 ulama perempuan Indonesia pada Ramadhan 1442 H lalu.

 

Secara umum, kitab tersebut membahas ihwal pedoman bagaimana membangun rumah tangga harmonis dengan basis kesalingan (mubadalah atau musyarakah). Sebuah gagasan yang dipersiapkan untuk melawan budaya patriarki yang dimaksud. Mengingat, cukup banyak yang gagal membangun sakinah dan kedamaian dalam sebuah keluarga yang deras arus budaya patriarkinya.

 

Judul di atas sebenarnya terinspirasi—bahkan bisa disebut terjemah—dari judul yang ditulis Kang Faqih dalam fashal ketiga kitab Manba’ussa’adah. Di sana ia menulis, ‘Al-Fashlu at-Tsalis Ahammiyyatu as-Shihhah al-Injabiyyah fi al-Hayat az-Zaujiyyah’.

 

Kesehatan memang memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan. Semua orang mengetahuinya, namun jarang menyadarinya. Penyesalan mendalam akan muncul dari mereka yang mengabaikan kesehatan dan kesempatannya. Oleh karena itu, marilah menjaga kesehatan dan memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin. Jauh sebelum ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan dalam Hadist riwayat Abdullah bin Abbas. Nabi bersabda:

 

نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس الصحة والفراغ

 

Artinya, “Dua nikmat yang tak diacuhkan oleh manusia kebanyakan; nikmat sehat dan nikmat sempat” (HR al-Bukhari).

 

Penting ditegaskan bahwa Nabi bersabda demikian tidak sebagai justifikasi atas kebiasaan buruk umat yang kerap mengabaikan nikmat sehat dan sempatnya. Melainkan, sedang memberi peringatan bahwa dua nikmat besar itu banyak dilalaikan umat. Maka, jangan pernah tak mengacuhkannya.

 

Sebagai bentuk atensi besar kita terhadap kesehatan adalah dengan memenuhi hak-hak tubuh secara sempurna. Dalam fashal pertama, kiai Faqih menjelaskan tiga hak tubuh yang harus dipenuhi. Pertama, hak mengonsumsi makanan yang halal dan bergizi baik (at-taghadzi bi at-thayyib). Kedua, hak atas istirahat yang cukup (akhdzu ar-rohah). Ketiga, hak menyalurkan hasrat seksual secara halal dan layak (talbiyyah al-gharizah al-jinsiyyah).

 

Untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan sehat, tentu membutuhkan anggota keluarga yang sehat pula, sebagaimana statemen Kang Faqih di awal. Tanpa itu, curahan cinta dan kasih sayang yang sering kita kenal dengan mawaddah wa rahmah, tak akan tersalurkan dengan baik. Dan ini, pasti berdampak pada sakinah dan tidaknya sebuah rumah tangga.

 

Perlu dipahami sebelumnya, sehat yang dimaksud Kang Faqih dalam Manba’ussa’adah-nya, adalah sehat dengan segala dimensi maknanya (Ia menyebutnya dengan syamil dan kamil). Menurut Ibu Nyai Arikhah, seorang doktor bidang tasawuf di Universitas Islam Negeri (UIN) Semarang, juga salah satu narasumber dalam Kelas Intensif Ramadhan kemarin, menafsirkan kata syamil dan kamil tersebut tidak hanya secara jasmani. Tetapi juga kesahatan secara emosional, spiritual, sosial, dan lain-lain. Maka, jelas berkontribusi besar untuk keharmonisan rumah tangga.

 

Mendapatkan kesehatan yang baik, tidak bisa hanya duduk-duduk anteng dan pasrah dengan keadaan, alias semata membebek takdir. Melainkan, harus diusahakan secara maksimal. Fenomena ini cukup banyak terjadi, dan tidak bisa disepelekan. Fakta masyarakat kita masih banyak yang sok beriman tinggi. Pasrah kepada apa kata takdir. Padahal, ini justru tanda lemahnya keimanan itu sendiri. Kiai Faqih mengatakan:

 

فلا ينبغي البتة لمن آمن بالنبي صلى الله عليه وسلم واتبع قدوته الحسنة أن يتغافل عن هذه الإرشادات ويتقاعد عن حفظ صحة جسده بدعوى التوكل والإعتماد على الله. فإن التوكل يكون مع الأخذ بالأسباب من أجل الوصول إلى مسبباتها. وبدونه يكون التوكل عن ضعف وعجز

 

Artinya, “Sangat tidak dianjurkan bagi yang benar-benar mengimani baginda Nabi , dan meneladani jejaknya yang indah nan mulia, untuk mengabaikan nasihat-nasihatnya, dan acuh tak acuh terhadap kesehatannya sendiri dengan dalih tawakal dan takdir. Mengingat, tawakal itu harus sejalan dengan upaya-upaya guna mendapatkan apa yang diinginkan. Tanpa itu, klaim tawakal hanyalah bukti lemahnya keimanan” (Manba’ussa’âdah fi Asasi Husnil Mu’âsyarah wa Ahammiyyati at-Ta’âwun wa al-Musyârakah fi al-Hayât az-Zaujiyyah, hal. 30)

 

Sebagai dasar ilmiahnya, Kang Faqih mengutip pendapat Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (751 H) dalam karyanya, Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad (juz 2, hal. 331) yang berbunyi:

 

فلا ينبغي للعبْدِ أن يَجعل توكُّلَه عَجْزًا، ولا عَجْزَه توكُّلاً، بل يَجعل توكُّلَه مِن جُملةِ الأسباب المأمور بها التي لا يَتِمُّ المقصودُ إلا بها

 

Artinya, “Tidaklah baik bila seseorang yang dengan klaim tawakalnya justru membuat ia lemah (tidak mau berusaha), juga bagi yang enggan berupaya, lalu mengatasnamakan tawakal. Melainkan, klaim tawakal haruslah senapas dengan upaya-upaya yang maksimal karena itu merupakan bagian yang tak terpisahkan”.

 

Upaya-upaya untuk pemenuhan hasanah di dunia, bertali kelindan dengan hasanan yang dijanjikan Allah di akhirat kelak. Dari sahabat Abu Bakr as-Shiddiq, Rasulullah bersabda:

 

سَلُوا اللَّهَ الْيَقِينَ وَالْمُعَافَاةَ، فَمَا أُوتِيَ أَحَدٌ بَعْدَ الْيَقِينِ خَيْرًا مِنَ الْعَافِيَةِ

 

Artinya, “Mintalah kepada Allah agar menganugerahkan keyakinan dan keafiatan (kepada kalian). Sebab, tak seorang pun yang diberikan karunia terbaik setelah keyakinan selain keafiatan”. (Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, juz 4, hal. 197)

 

Dari hadist ini, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengklasifikasi fungsi yakin dan afiat tersebut secara poporsional. Ia mengatakan:

 

وَلَا يَتِمُّ صَلَاحُ الْعَبْدِ فِي الدَّارَيْنِ إِلَّا بِالْيَقِينِ وَالْعَافِيَةِ، فَالْيَقِينُ يَدْفَعُ عَنْهُ عُقُوبَاتِ الْآخِرَةِ، وَالْعَافِيَةُ تَدْفَعُ عَنْهُ أَمْرَاضَ الدُّنْيَا فِي قَلْبِهِ وَبَدَنِهِ

 

Artinya, “Kebahagiaan dunia-akhirat seseorang tidak akan sempurna tanpa keyakinan dan keafiatan. Dengan keyakinan, seseorang dapat melindungi dirinya dari siksa akhirat. Dan, melalui keafiatan, ia mampu memproteksi dirinya dari segala penyakit, baik hati maupun fisik” (Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, juz 4, hal. 197).

 

Karena itulah, sang baginda nabi sering kali berdoa dengan doa yang diajarkan Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 201. Doa itu, kerap kita kenal dengan doa sapu jagat. Menurut sahabat Anas bin Malik, menjawab pertanyaan sahabat Qatadah, bahwa doa tersebut adalah yang paling sering dipanjatkan Rasulullah seumur hidupnya. Keterangan ini dapat dijumpai dalam Tafsir Ibnu Katsir (juz 1, hal. 224).

 

Semoga kita senantiasa dikaruniai keyakinan dan kesehatan yang sempurna, agar dapat menggunakan tubuh ini beribadah lebih lama. Amin. Wallahu a’lam bisshawab.

 

 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni sekaligus pengajar di Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.