Nikah/Keluarga

Calon Istri Dilarang Hadir di Majelis Ijab Qabul?

Kam, 9 Mei 2019 | 05:00 WIB

Calon Istri Dilarang Hadir di Majelis Ijab Qabul?

Ilustrasi (thepersonette.wordpress.com)

Sepasang pengantin baru mengeluh ke penghulu yang bertugas mencatat perkawinan mereka. Pasalnya keduanya sangat ingin duduk berdampingan ketika proses ijab qabul namun hal itu tidak diperkenankan oleh penghulu yang hadir. Keinginan keduanya untuk duduk bersanding pada saat akad nikah bukan tanpa alasan, ingin didokumentasikan sebagai kenangan. Namun sang penghulu tetap saja tak mengizinkan pengantin perempuan hadir di majelis akad nikah. Ia bahkan memintanya untuk kembali masuk ke bagian dalam rumah.
 
Di lain waktu sang penghulu bukan saja tidak mengizinkan mempelai perempuan hadir di majelis akad tapi juga meminta kaum perempuan lainnya untuk tidak berada di majelis tersebut. Tentunya hal ini menjadikan mereka kecewa karena keinginan untuk menyaksikan ijab qabul perkawinan anggota keluarganya tak terwujud.
 
Permasalahan seperti ini sangat sering terjadi di Indonesia manakala prosesi ijab qabul pernikahan akan dilaksanakan. Mereka yang tidak mengizinkan hadirnya mempelai perempuan bukan saja seorang penghulu tapi juga tokoh agama. Tidak semuanya memang, di beberapa tempat mempelai perempuan dibiarkan duduk bersanding dengan calon suaminya pada saat proses ijab qabul berlangsung. Tidak hanya itu, bahkan kepala keduanya juga ditutupi dengan sehelai kain tipis, layaknya proses pernikahan di banyak sinetron.
 
Lalu bagaimana sebenarnya fiqih mengatur hal ini, apakah hadirnya mempelai perempuan dan kaum perempuan di majelis akad nikah memang dilarang oleh agama? Apakah kehadiran kaum hawa ini berakibat pada tidak sahnya akad nikah?
 
Sebelumnya perlu diketahui bahwa di dalam prosesi akad nikah hanya ada 4 (empat) pihak yang harus hadir di majelis tersebut. Keempat pihak itu adalah mempelai laki-laki, wali pengantin perempuan, dan dua orang saksi. Selebihnya tak ada yang wajib hadir pada majelis akad nikah, termasuk pengantin perempuan. Ini sebagaimana dituturkan oleh Abu Bakar Al-Hishni di dalam kitab Kifâyatul Akhyâr:
 
يشْتَرط فِي صِحَة عقد النِّكَاح حُضُور أَرْبَعَة ولي وَزوج وشاهدي عدل
 
Artinya: “Disyaratkan dalam sahnya akad nikah hadirnya empat orang, yakni wali, suami, dan dua orang saksi yang adil.” (Abu Bakar Al-Hishni, Kifâyatul Akhyâr, [Bandung: Al-Ma’arif, tt.], juz II, hal. 49)
 
Dari keterangan di atas maka jelas dapat dipahami bahwa pengantin perempuan tidak wajib hadir dan ada di majelis tempat dilaksanakannya akad nikah. Namun demikian, apakah ketidakharusan hadirnya pengantin perempuan dapat diartikan ketidakbolehannya hadir di majelis itu, hingga ketika ia hendak disandingkan dengan calon suaminya saat akad nikah banyak pihak yang melarangnya?
 
Bila kita mencermati teks-teks fiqih dalam berbagai kitab ulama terdahulu—sebatas pengetahuan penulis—belum ditemukan teks yang secara jelas melarang hadirnya pengantin perempuan dan kaum perempuan di majelis akad nikah. Pun teks yang secara nyata menetapkan ketidakabsahan akad nikah yang dihadiri oleh kaum hawa, belum ditemukan.
 
Hanya saja pada bab yang lain banyak ulama membahas tentang tidak diperbolehkannya pencampuran (ikhtilâth) antara laki-laki dan perempuan bila dikhawatirkan akan timbulnya fitnah. Misalnya apa yang disampaikan oleh Imam Bujairami yang mengutip sebuah penjelasan dari kitab Syarhur Raudl:
 
أَمَّا النَّظَرُ وَالْإِصْغَاءُ لِصَوْتِهَا عِنْدَ خَوْفِ الْفِتْنَةِ أَيْ: الدَّاعِي إلَى جِمَاعٍ، أَوْ خَلْوَةٍ، أَوْ نَحْوِهِمَا فَحَرَامٌ 
 
Artinya: “Adapun memandang dan mendengarkan suara perempuan ketika dikhawatirkan terjadinya fitnah—yakni yang mengundang kepada persetubuhan, bersepian atau yang semisalnya—maka hukumnya haram.” (Sulaiman Al-Bujairami, Hâsyiyah Al-Bujairami ‘alâ Syarhil Minhaj, [Al-Halabi, 1950], juz III, hal. 325)
 
Bila membaca teks di atas kiranya bisa dipahami bahwa pencampuran laki-laki dan perempuan masih bisa diperbolehkan bila tidak ada kekhawatiran terjadinya fitnah (godaan, red). Pencampuran itu baru dihukumi haram bila ada kekhawatiran timbulnya fitnah tersebut. 
Artinya bila dapat dipastikan tidak akan menimbulkan fitnah maka sah-sah saja hadirnya mempelai perempuan dan perempuan lainnya pada majelis akad nikah.
 
Pada saat prosesi akad nikah biasanya banyak dihadiri oleh kaum laki-laki baik dari keluarga mempelai perempuan ataupun dari keluarga mempelai laki-laki. Di daerah tertentu bahkan mereka yang hadir dari pihak laki-laki sebagian besar adalah kaum muda yang menjadi teman bermainnya. Dalam kondisi seperti ini keberadaan pengantin perempuan di tengah-tengah majelis akad nikah dikhawatirkan dan sangat dimungkinkan akan menimbulkan fitnah di antara kaum laki-laki itu. Fitnah itu bisa berupa pandangan kaum lelaki kepada pengantin perempuan, condongnya hati kepada apa-apa yang dilarang atau hal-hal lain yang dilarang oleh agama dan yang semestinya tidak terjadi di majelis akad nikah.
 
Realitas di masyarakat seringkali ditemukan fitnah-fitnah yang dikhawatirkan tersebut. Saat pengantin perempuan keluar menuju tempat akad para hadir yang sebagian besar kaum muda seringkali melakukan aksi-aksi tak pantas seperti bersiul-siul, bersorak sorai menggoda kedua mempelai, dan ungkapan-ungkapan lain yang tak layak yang semestinya tidak terjadi di majelis akad nikah yang sakral.
 
Barangkali dengan alasan-alasan ini sejumlah pihak tidak mengizinkan pengantin perempuan keluar dan duduk berdampingan dengan calon suaminya sebelum selesainya akad nikah.
 
Lebih lanjut, sebagaimana disinggung di atas bahwa dalam akad nikah diharuskan hadirnya dua orang saksi yang adil. Sifat adil ini secara sederhana dapat dipahami sebagai sifat tidak fasik atau tidak banyak melakukan perbuatan dosa. Ke-adil-an dua orang saksi ini menjadi salah satu syarat bagi keabsahan akad nikah merujuk pada sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam:
 
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
 
Artinya: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan hadirnya wali dan dua orang saksi yang adil.”
 
Di masa sekarang ini mendapatkan saksi yang benar-benar adil sangatlah sulit. Maka dari itu para ulama menyarankan agar sebelum akad nikah dimulai para hadir yang ada di majelis itu beristighfar bersama dalam rangka bertaubat dari perbuatan-perbuatan dosa yang selama ini dilakukan. Dengan demikian harapannya adalah pada saat prosesi ijab qabul mereka yang hadir tidak berstatus fasik sehingga lebih yakin dalam mendapatkan keabsahan akad nikah.
 
Hadirnya pengantin perempuan di tengah-tengah majelis akad nikah disamping akan terjadi ikhtilath antara laki-laki dan perempuan dan terjadinya fitnah di antara mereka juga dikhawatirkan akan menumbuhkan kefasikan pada diri para saksi.
 
Muhammad Ali As-Shabuni dalam kitab Rawâi’ul Bayân Tafsîr âyâtil Ahkâm mengutip pendapat Imam Ibnu Kasir:
 
وذهب ابن كثير رَحِمَهُ اللَّهُ إلى أن المرأة منهية عن كل شيء يلفت النظر إليها، أو يحرك شهوة الرجال نحوها
 
Artinya: “Ibnu Katsir rahimahullâh berpendapat bahwa seorang perempuan dilarang dari segala hal yang yang menjadikan pandangan mengarah kepadanya atau menggerakkan syahwat para lelaki padanya.” (Muhammad Ali As-Shabuni, Rawâi’ul Bayân Tafsîr âyâtil Ahkâm, [Beirut: Darul Fikr, tt.], juz II, hal. 167)
 
As-Shabuni sendiri dalam kitab yang sama menegaskan:
 
ينبغي على الرجال أن يمنعوا النساء من كل ما يؤدي إلى الفتنة والإغراء، كخروجهن بملابس ضيقة، أو ذات ألوان جذابة
 
Artinya: “Seyogianya kaum laki-laki mencegah para perempuan dari segala yang mendatangkan fitnah dan godaan, seperti mereka keluar dengan pakaian yang ketat atau memiliki warna yang menarik.” (Muhammad Ali As-Shabuni, Rawâi’ul Bayân Tafsîr âyâtil Ahkâm, [Beirut: Darul Fikr, tt.], juz II, hal. 167)
 
Bisa digambarkan, ketika pengantin perempuan hadir di majelis akad dengan hiasan dan riasan yang begitu menawan, yang menjadikan ia tampil lebih cantik dari biasanya, terlebih bila ia mengenakan gaun pengantin ala barat yang memperlihatkan sebagian auratnya, tentunya hal itu akan mengundang kekaguman para hadir yang ada. Kecantikannya mampu menawan pandangan para hadir hingga mereka menikmati pemandangan yang ada. Dan pada akhirnya tidak dipungkiri hati mereka akan condong kepada perasaan-perasaan yang tidak semestinya.
 
Bila ini semua terjadi pada diri para saksi pada saat proses ijab qabul berlangsung itu berarti mereka menjadi saksi dalam keadaan bermaksiat yang bisa jadi menghilangkan sifat ke-adil-an mereka.
 
Lalu apakah yang demikian dapat mencegah keabsahan akad nikah?
 
KH Subhan Makmun, salah satu Rais Syuriah PBNU, dalam satu kesempatan menjelaskan bahwa hal itu tidak sampai menjadikan akad nikah tidak sah. Akad nikah tetap sah. Hanya saja adanya saksi yang menyaksikan akad nikah dalam keadaan bersyahwat sebagaimana digambar di atas dapat mengurangi sifat wira’i (kehati-hatian) dalam berakad yang imbasnya akan mengurangi kewira’ian dan adab sang anak dari hasil pernikahan tersebut.
 
Alhasil, tidak diperkenankannya pengantin perempuan dan para perempuan lain hadir di tengah majelis akad nikah oleh sebagian pihak adalah merupakan satu langkah kehati-hatian agar akad nikah yang menjadi gerbang pertama dan utama sebuah perkawinan dapat benar-benar mengantarkan kedua mempelai pada kehidupan rumah tangga yang sakinah, tidak hanya bahagia bersama di dunia saja tapi juga sampai kelak di akherat. Wallâhu a’lam
 
 
Ustadz Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif sebagai Penghulu di lingkungan Kantor Kementerian Agama Kota Tegal.