Nasional

UU Sisdiknas untuk Penyandang Cacat Bak Macan Ompong

NU Online  ·  Sabtu, 10 Mei 2014 | 14:04 WIB

Jakarta, NU Online
Dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), disebutkan kuota penerimaan bagi anak berkebutuhan khusus. Tetapi praktiknya, mereka tidak bisa masuk di sekolah biasa dengan alasan minimnya fasilitas.
<>
“UU Sisdiknas bagi anak berkebutuhan khusus bak macan ompong,” kata komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Hj Maria Ulfah Anshor saat menjadi narasumber pada Workshop Pendidikan Inklusi bertema “Pendidikan Tanpa Diskriminasi.” Acara hasil kerja sama P3M dan NEW Indonesia tersebut dihelat di Hotel Kaisar Jl PLN No 1 Duren Tiga Jakarta Selatan, (9/1) sore.

Bahkan, lanjut Maria, sekolah negeri pun belum memberikan fasilitas yang bisa diakses oleh anak berkebutuhan khusus tersebut. Padahal, ada peraturan standar dari PBB tahun 2006 tentang anak cacat, kemudian Indonesia meratifikasinya pada 2011. Negeri ini memiliki visi Anak Indonesia 2015 yang sehat sejahtera, cerdas, ceria, berakhlak mulia, dan terlindungi.

Terkait masalah tersebut, Maria menyebut Indonesia telah memiliki seperangkat UU semisal UU Penyandang Cacat, UU HAM, UU Perlindungan Anak, dan UU yang mengatur tentang bangunan gedung.

Problemnya, kata dia, di hampir sebagian besar UU tersebut tidak ada yang menyebut secara spesifik misalnya tentang gedung. “Berapa ukuran untuk anak-anak yang memakai kursi roda, misalnya. Ini yang perlu kita kritisi,” paparnya.

Dalam sistem perlindungan anak, UU menyebutkan, pemenuhan hak anak baik yang normal maupun yang berkebutuhan khusus itu tidak ada perbedaan. “Yang disayangkan, kurikulum kita dibuat bukan oleh orang berkebutuhan khusus tetapi orang normal, lalu disampaikan oleh orang normal untuk para penyandang cacat. Mereka (para penyusun kurikulum) tidak memiliki empati terhadap para penyandang cacat ini,” ungkap mantan Ketua Umum Fatayat NU ini.

Maria mengatakan, jika hendak mencoba berempati terhadap perasaan anak berkebutuhan khusus, bandingkan saja anak normal yang mengalami kekerasan sekali, maka yang berkebutuhan khusus pasti lebih berkali-kali.

“Negara seharusnya tidak hanya pandai membuat kebijakan dan peraturan, namun juga wajib mencapai hasil dari kebijakan tersebut, yakni tidak ada lagi penyandang cacat yang ditolak oleh sekolah,” tegasnya. (Ali Musthofa Asrori/Abdullah Alawi)