Nasional

Usia dan Efek Media Sosial Jadi Alasan Perlunya Revisi UU ITE 

Kam, 25 Maret 2021 | 16:55 WIB

Usia dan Efek Media Sosial Jadi Alasan Perlunya Revisi UU ITE 

Saat ini perkembangan teknologi dan media informasi sudah berkembang sangat cepat. Peraturan-peraturan yang ada harus mampu menyikapi perkembangan teknologi dan fenomena sosial yang muncul.

Jakarta, NU Online
Komisaris Independen PT Telkom Indonesia Marsudi Wahyu Kisworo menilai, Undang-undang (UU) Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) harus direvisi. Hal ini mengingat usia UU tersebut sudah cukup lama dan juga perkembangan teknologi begitu cepat berubah. Apalagi perkembangan aspek informasi elektronik, seperti media sosial saat ini, sudah lebih mendapat perhatian dibanding aspek transaksi elektronik.

 

Marsudi mengingatkan bahwa awal terbitnya UU ITE ini lebih fokus pada penyikapan atau respon terhadap perkembangan transaksi elektronik di waktu itu. Di awal pembahasan UU ini, permasalahan terkait media sosial dan berbagai efek negatif yang ditimbulkan seperti hoaks dan ujaran kebencian tidak begitu mendapatkan porsi lebih. 

 

"Undang-undang ini terdiri dari dua bahasan yakni Informasi elektronik dan transaksi elektronik. Dalam perkembangannya seolah-olah sekarang banyak yang disorot terkait informasi elektronik dibanding transaksi elektronik," jelasnya dalam Halaqah Dakwah yang diselenggarakan oleh Komisi Dakwah MUI Pusat bertemakan UU ITE dalam Pandangan Aktivis Dakwah, Kamis (25/3).

 

Ia pun memaparkan fakta bahwa saat ini perkembangan teknologi dan media informasi memang sudah berkembang sangat cepat. Menyikapi hal ini, peraturan-peraturan yang ada harus mampu menyikapi perkembangan teknologi dan fenomena sosial yang muncul.

 

"Betapa pentingnya sekarang masyarakat juga harus memiliki literasi cyber agar tidak terkena masalah. Walau banyak hal-hal baik yang muncul di media sosial, namun hal-hal negatif juga tak kalah banyaknya," jelasnya.

 

Ia mengibaratkan otak manusia dalam bermedia sosial saat ini seperti kulkas yang diisi berbagai macam makanan. Jika tidak selektif dalam memilih makanan, bisa jadi makanan busuk juga masuk ke dalam kulkas kita. Begitu juga otak manusia saat ini yang tidak bisa memilih berita baik dan buruk, bisa jadi informasi yang tidak benar dan menyesatkanlah yang akan memenuhi otak.

 

"Saking banyaknya, semua masuk ke otak kita. Kalau kemasukan informasi buruk maka buruk juga otak kita dan bisa mencelakakan kita jika otak banyak diisi oleh hal-hal negatif," jelasnya.

 

Untuk menyikapi ini semua, ia pun berpesan kepada semua orang yang sudah mengakses media sosial untuk memegang prinsip yakni: "Kalau masih katanya, kamu harus cari faktanya. Saring sebelum sharing."

 

Senada dengan Marsudi, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat KH M Cholil Nafis mengatakan bahwa semua aktivitas dalam media sosial pada hakikatnya adalah sama seperti aktivitas di dunia nyata. Semua orang harus menjunjung prinsip kehati-hatian dalam bermedsos.

 

Ketika menerima informasi, Kiai Cholil mengingatkan semuanya untuk memastikannya dengan istilah BBM yakni Benar, Baik, Maslahat. Hal ini menurutnya sudah ditegaskan dalam Al-Qur’an dan MUI juga sudah membuat pedoman bermuamalah di media sosial melalui Fatwa MUI Nomor 24 tahun 2017.

 

Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan