Tangerang Selatan, NU Online
Penulis buku Gus Dur, Islam Nusantara, dan Kewarganegaraan Bineka, Ahmad Suaedy, menjelaskan, ada tiga hal yang dilakukan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam menyelesaikan persoalan Papua.
Pertama, rekognisi. Gus Dur mengakui warga Papua dan bahkan kelompok separatis sekaligus. Dalam hal ini, misalnya Gus Dur mengubah nama Irian menjadi Papua, mengizinkan pengibaran bendera bintang kejora asal tingginya di bawah bendera merah putih, dan menampung semua aspirasi masyarakat Papua kecuali permintaan merdeka. Langkah Gus Dur ini menjadi semacam pengakuan secara politik dan kebudayaan atas derajat dan martabat masyarakat Papua.
“Oleh Gus Dur nama Papua dikembalikan secara gratis. Padahal saat itu, orang Papua belum memutuskan untuk bergabung dengan Indonesia,” kata Suaedy, di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis (27/12).
Kedua, respect atau penghormatan. Dalam menyelesaikan persoalan Papua, Gus Dur memberikan kebebasan penuh asal tidak minta merdeka. Masyarakat Papua bebas menyampaikan pendapat, berekspresi, dan keamanannya terjamin. Sebagaimana diketahui, pada saat itu orang Papua jika bicara tentang Papua maka ada tiga kemungkinan, yaitu dia akan hilang, ditembak mati, atau dipenjara.
Penghormatan Gus Dur terhadap Papua tercermin dengan kebebasan masyarakat Papua berkumpul untuk melakukan musyawarah besar dan kongres. Bahkan, Gus Dur membiarkan kelompok separatis memperingati hari kemerdekaan Papua pada 11 Desember. Menariknya, Gus Dur tidak hanya menjamin kebebasan berpendapat, tapi juga menjamin keamanan sehingga pada saat kumpul-kumpul itu tidak ada keributan yang berarti.
“Apapun diperbolehkan (Gus Dur kepada Papur) asal (Papua) tidak minta merdeka,” kata Suaedy.
Ketiga, transformasi kelembagaan (institutional transformation). Reformasi Indonesia bukan hanya reformasi ekonomi dan politik, tetapi juga reformasi sosial dan budaya. Melalui reformasi itu, kelompok-kelompok yang ada di pinggir dan tidak memiliki kekuasaan ditarik ke tengah dan ikut berkuasa.
Dalam hal transformasi kelembagaan, jelas Suaedy, Gus Dur membuat ‘Undang-Undang khusus’ untuk Papua. Semua aspirasi masyarakat Papua dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang tersebut, kecuali aspirasi untuk memerdekakan Papua. Langkah ketiga ini tidak mudah. Hal ini terbukti ketika Gus Dur datang ke Papua, Rancangan UU tersebut baru disetujui untuk dibahas, alias belum disetujui. (Muchlishon)