Nasional

Tiadanya Prinsip Saling Setara Sebabkan Rendahnya Ketahanan Keluarga

Sab, 23 Desember 2023 | 11:00 WIB

Tiadanya Prinsip Saling Setara Sebabkan Rendahnya Ketahanan Keluarga

Ilustrasi: Kasus KDRT semakin tak terkontrol dan menempatkan perempuan sebagai objek dalam relasi yang timpang (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online
Direktur Women Crisis Center (WCC) Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Anna Abdillah mengatakan penyebab rendahnya ketahanan keluarga di Indonesia dikarenakan tidak ada prinsip kesalingan yang setara di dalam rumah tangga.


Alhasil, biduk rumah tangga sering kali bubar, meskipun baru seusia jagung. Dalam masalah ini, perempuan dan anak merupakan individu yang paling sering dirugikan.

 

"Tingginya angka perceraian dan rendahnya ketahanan keluarga di Indonesia disebabkan kurangnya pendidikan kritis bagaimana memupuk prinsip kesalingan yang setara di dalam rumah tangga," jelasnya kepada NU Online, Jumat (22/12/2023).
 


Perempuan aktivis ini menambahkan, Jombang sebagai contoh kasus memiliki angka perceraian yang cukup tinggi dalam beberapa tahun terakhir.


Berdasarkan data Pengadilan Agama Jombang mencatat jika cerai talak di tahun 2023 ada 583 perkara yang terdaftar. Sementara itu di tahun 2021 kasus cerai talak ada 780 perkara yang terdaftar. Di tahun 2022 ada sebanyak 769 perkara yang terdaftar.

 

"Sedangkan untuk cerai gugat di tahun 2021 ada 2.478 perkara, tahun 2022 sebanyak 2.402 perkara dan di tahun 2023 sebanyak  2.342 perkara," katanya.

 

Anna menjelaskan, tingginya kasus perceraian ini dikarenakan beberapa masalah, salah satunya yaitu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).


Dikatakannya, perilaku sadistik terhadap perempuan sering kali dilanggengkan oleh dorongan superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini yang mengeksploitasi ketubuhan perempuan.

 

"Dalam relasi kuasa yang timpang, parahnya perilaku sadistik banyak didapati motifnya lantaran pertengkaran dan cemburu. Sehingga tidak heran banyak perceraian dan KDRT," imbuh ibu dua anak ini.

 

Melihat fakta ini, pada momentum peringatan Hari Ibu 2023, Anna meminta perempuan dilindungi secara hukum dan sosial. 

 

Jika direfleksikan dengan fenomena kekerasan di ruang domestik, ada banyak sekali perilaku yang mencederai status perempuan sebagai ibu yang melahirkan kehidupan. 


"Kasus KDRT semakin tak terkontrol dan menempatkan perempuan sebagai objek dalam relasi yang timpang," ungkap Anna.


Ia menambahkan perilaku abusive yang terjadi pada perempuan telah ditemukan pada beragam bentuk seperti seorang istri yang dicekik, ditindih, dipukul, dibekap, ditendang, dibacok, di banting  bahkan dimutilasi dan dibakar hingga pembuangan mayat adalah bentuk femisida.


Perilaku abusive ini timbul tenggelam dan menjadi publikasi di masyarakat tanpa adanya kesadaran kolektif menciptakan ruang aman bagi setiap orang. Khususnya perempuan dan anak yang menjadi korban seperti memperoleh perlindungan hukum dan jaminan kesejahteraan sosial yang memadai.

 

"Lebih-lebih perilaku mengkriminalisasi korban KDRT banyak menyeret ibu sebagai terdakwa dalam kasus tindak pidana," tandas Anna.