Nasional

Tantangan Bangun Keluarga Berkualitas Menurut LKK-PBNU 

Sel, 13 Juli 2021 | 07:30 WIB

Tantangan Bangun Keluarga Berkualitas Menurut LKK-PBNU 

Sekretaris LKK PBNU Alissa Wahid

Jakarta, NU Online 

Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid mengatakan, di era digitalisasi modern tantangan untuk membangun keluarga berkualitas menjadi pekerjaan rumah (PR) terbesar bagi setiap orang tua. Pasalnya, dalam mewujudkan keberkualitasan tersebut orang tua dihadapkan pada berbagai macam persoalan kehidupan.


"Mulai dari kesenjangan kehidupan yang begitu nyata, kemudian kekerasan yang terus menerus ada, efek teknologi informasi kepada anak-anak, dan konsumerisme yang semakin tak terbendung. Ini semua menjadi PR besar bagi kita," kata Alissa dalam Dialogue Positive with Alissa Wahid, Selasa (13/7).


Hal demikian itu membuat ruang bergerak keluarga terasa begitu sempit. Alissa Wahid, sapaan akrabnya, menyebutkan dalam hal ini orang tua memiliki peran penting dalam memperbaiki sisi moral seorang anak terlebih dalam hal keagamaan. 


"Jadi, di satu sisi banyak perilaku muncul di luar nalar/bayangan kita tentang kehidupan yang baik. Di sisi lain juga, kita melihat bahwa ada pemahaman agama yang begitu ekstrem," papar Psikolog Anak dan Keluarga ini. 


Ia mencontohkan peristiwa pengeboman gereja yang dilakukan oleh satu keluarga beberapa waktu lalu, hingga sikap seorang anak yang menginisiasi 27 anggota keluarganya untuk pindah ke Suriah. Ia semakin yakin bahwa makin banyak orang-orang yang kehilangan keyakinan kepada agama atau Tuhan.


"Sebetulnya ada dua level. Pertama, ada yang sudah tidak percaya kepada agama/Tuhan, itu kelompok ateis. Kemudian kedua, kelompok agnostik yang dia percaya Tuhan tapi tidak yakin terhadap agama," terangnya. 


Deretan hal tersebut, lanjut dia, selain menjadi polemik kehidupan, menambah juga daftar kekalutan yang dirasakan oleh orang tua dalam mengambil sikap sebagai pendamping anak-anak di ruang lingkup keluarga. Karenanya, tidak heran bila akhir-akhir ini muncul banyak pertanyaan seputar bagaimana cara menanamkan ketauhidan kepada anak. 


"Karena jangan-jangan ketidakmampuan kita untuk menanamkan ketauhidan itu pada anak-anak yang membuat mereka melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan, baik itu beragama secara ekstrem atau dengan tidak beragama sama sekali," lanjut Alissa. 


Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa ketauhidan yang selama ini diartikan melalui ritual-ritual ibadah itu hanya sebatas ekspresi ketauhidan. Artinya, lebih dari itu tauhid merupakan pengakuan serta ajakan dalam menyebarkan nilai-nilai rahmatan lil alamin ke dalam setiap lini kehidupan. 


"Banyak orang tua atau pemuka agama yang terjebak dan berhenti di titik melatih ritual saja. Tetapi sebetulnya tidak menanamkan ketauhidan itu sendiri," tegas Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian itu. 


Kontributor: Syifa Arrahmah 
Editor: Syakir NF