Nasional

Tangkal Terorisme dengan Penegakan Hukum dan Pelibatan Ulama Moderat

Rab, 2 Desember 2020 | 07:00 WIB

Tangkal Terorisme dengan Penegakan Hukum dan Pelibatan Ulama Moderat

Deradikalisasi Dilakukan kepada pihak yang belum sampai pada level teroris, melainkan bagi orang-orang radikal-esktrem yang memiliki pikiran membayangkan tentang tegaknya negara Islam. 

Jakarta, NU Online
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) M Kholid Syeirazi mengungkapkan, terdapat dua hal yang harus dilakukan pemerintah dalam menangani kasus terorisme di negeri ini yang hingga kini belum berakhir.

 

Pertama, pemerintah harus melakukan pendekatan penegakan hukum. Langkah ini bisa diambil bagi para kombatan teroris yang sudah sulit untuk diajak dialog, diajak kembali atau menganggap NKRI sebagai thagut. 

 

“Pemerintah harus melakukan penegakan hukum dengan kerasa kepada mereka yang sudah sulit diajak dialog dan kembali mengakui NKRI. Negara harus hadir untuk melindungi warga negara yang terancam dengan pikiran dan tingkah pola teror mereka,” kata Kholid kepada NU Online, Selasa (1/12) sore. 

 

Langkah kedua yang harus dilakukan pemerintah adalah deradikalisasi. Hal ini dilakukan kepada pihak yang belum sampai pada level teroris, melainkan bagi orang-orang radikal-esktrem yang memiliki pikiran membayangkan tentang tegaknya daulah Islamiyah (negara Islam). 

 

“Saya kira negara (perlu) mengajak mereka untuk diajak kembali kepada pengakuan terhadap konsensus kebangsaan. Mantan-mantan kombatan itu harus diajak kembali dengan pendekatan kemanusiaan. Pendekatan natural,” tegasnya. 

 

Dalam melakukan langkah kedua itu, pemerintah diminta untuk melibatkan ulama dari kalangan ormas Islam moderat. Para ulama inilah yang mesti terlibat dalam mengisi ruang deradikalisasi atau kontra-radikalisasi. 

 

“Pada konteks kedua ini, peran ulama moderat adalah melakukan kontranarasi para teroris itu dengan narasi wasathiyah Islam yang mempromosikan perdamaian bahwa NKRI ini adalah Darussalam (negeri damai), darusulhi (negara bersahabat), darul mitsaq (negara kesepakatan), dan dalam istilah Muhammadiyah adalah darul ahdi wasy-syahadah,” jelas Kholid.

 

Menurutnya, masyarakat sipil mesti digandeng oleh pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam rangka deradikalisasi untuk ‘menyuci’ kembali otak para kelompok teroris itu. 

 

“(Pikiran) kelompok (teroris) salafi-jihadis ini sudah dirusak oleh narasi-narasi Islam ekstremis, dan itu harus dikembalikan. Sedangkan yang punya argumentasi itu hanya ulama dan kiai,” ungkap penulis buku Wasathiyah Islam ini.

 

Kalau dengan pendekatan penegakan hukum, lanjutnya, pemerintah bisa menang dengan cepat. Namun, para teroris itu pasti memiliki anak dan keturunan yang kelak akan sulit untuk kembali diintegrasikan pada pemahaman yang berkebangsaan, lantaran telah punya dendam tersendiri kepada negara. 

 

Lebih jauh, Kholid menerangkan bahwa kelompok minoritas nonmuslim di Indonesia saat ini lebih percaya terhadap kiprah masyarakat sipil daripada pemerintah. Mereka akan lebih merasa aman kalau NU ada di depan. 

 

“Sebab pemerintah kadang ambivalen juga. Karena kita tahu negara ini punya sejarah dalam memperlakukan kelompok ekstremis yang terkadang tarik ulur. Ada pendekatan intelijen, dibina, dan kemudian dibinasakan. Kan kadang ada unsur begitunya,” terangnya.

 

“Jadi saya kira yang harus dilakukan negara adalah mempromosikan kelompok Islam moderat. Ini kalau negaranya netral. Tapi akan menjadi bahaya jika negara membiarkan masyarakat sipil saling berkelahi sendiri,” lanjut Kholid.

 

Ia menegaskan, pemerintah harus betul-betul melakukan afirmasi terhadap narasi Islam moderat dengan sungguh-sungguh, bukan sekadar proyek. Sebab jika orientasinya hanya soal proyek semata, tidak sungguh-sungguh, maka kelompok teroris di negeri ini tidak akan pernah selesai dan akan selalu ada. 

 

Selain dari itu, Kholid mengatakan bahwa negara harus punya langkah-langkah proaktif terhadap jaringan kelompok jihadis di level global. Sebab kelompok semacam Mujahidin Indonesia Timur itu adalah organisasi kejahatan transnasional.

 

“Mereka itu kan adalah organisasi kejahatan transnasional yang terorganisir. Di titik ini hanya negara yang punya akses untuk menutup sumber-sumber jaringan dana yang membuat kelompok ini tetap bisa hidup,” katanya.

 

Kholid menyarankan agar pemerintah melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) harus secara tegas melakukan blokir terhadap akun-akun rekening yang diduga menjadi aliran uang masuk dari jaringan jihadis itu.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan