Nasional

Simposium Internasional Manassa Kaji Suluk Iwak Telu Sirah Sanunggal

NU Online  ·  Senin, 3 Oktober 2016 | 12:00 WIB

Simposium Internasional Manassa Kaji Suluk Iwak Telu Sirah Sanunggal

Simbol iwak telu sirah sanunggal.

Jakarta, NU Online
Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) menggelar Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara ke-16 dengan menggandeng Perpustakaan Nasional RI (PNRI). Kegiatan yang dilaksanakan September 2016 akhir itu menghadirkan para Filolog internasional diantaranya mengkaji Suluk Iwak Telu Sirah Sanunggal dalam Naskah Syatariyah wa Muhammadiyah (SWM) di Cirebon yang ditulis dan dibawakan oleh Dr Mahrus El-Mawa, Filolog lulusan Universitas Indonesia (UI).

Mahrus mengungkapkan, di tengah riset tentang tarekat Syatariyah di Cirebon, terdapat ungkapan dari salah seorang mursyid, bahwa ilustrasi dalam SWM dengan iwak telu sirah sanunggal (tiga ikan satu kepala, trimina) itu disebut pula sebagai suluk Syatariyah. Hanya saja, dalam berbagai naskah dan kajian literatur, belum ditemukan dengan jelas, bahwa trimina itu disebut sebagai suluk Syatariyah. 

“Tulisan ini menganalisis bagaimana iwak telu sirah sanunggal dalam SWM itu dapat disebut sebagai suluk Syatariyah di Cirebon yang berpengaruh di daerah lainnya,” terang Mahrus, Pendiri Pusat Kajian Cirebon IAIN Syekh Nurjati Cirebon.

Pria yang juga aktif sebagai Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (PP LP Ma’arif NU) ini juga menjelaskan, SWM merupakan salah satu kitab panduan tarekat Syatariyah dari seorang guru bernama Raden Muhammad Nurullah Habibuddin. Habibuddin memberikan ijazah Tarekat Syatariyah kepada ketiga anaknya, Partakusuma, Jayadikusuma dan Partasuwarma. 

“Naskah SWM yang dikaji ini berasal dari silsilah Partakusumah. Pemilik naskah, Mohammad Hilman, menceritakan bahwa naskah ini diperoleh dari ayahnya, yang juga mursyid Syatariyah, bernama Pangeran Ibrahim atau Syaikh Khaliluddin (wafat 2003). Pangeran Ibrahim memperolehnya dari Partadikusumah (wafat 1960-an) atau dikenal juga dengan nama Partakusuma dengan gelar kemursyidannya, Badriddin,” papar Mahrus.

Dalam silsilah naskah SWM, terang Mahrus, terdapat beberapa nama tokoh penting dalam dunia tarekat yaitu Abdullah bin Abdul Qahhar dan Syaikh ‘Alim ar-Rabbani (Syaikh Ahmad Qusyasyi).  Abdullah bin Abdul Qahhar dikenal sebagai penasihat Sultan Banten pada abad ke-18,  guru tarekat Syatariyah dan beberapa tarekat lainnya, baik di Cirebon, Cianjur, maupun Banten. 

“Ia menghasilkan beberapa karya yang cukup terkenal, seperti kitab Fath al-Mulk Liyasila Ila Malik al-Muluk ‘Ala Qa’idat Ahl al-Suluk. Bahkan, menurut temuan penelitian terakhir, Abdullah bin Abdul Qahhar juga pernah tinggal di Mindanao dan menjadi mursyid,” jelasnya.

Ilustrasi 3 ikan 1 kepala 

Adapun ilustrasi trimina, terang Mahrus, tiga ikan satu kepala atau iwak telu sirah sanunggal (ITSS) merupakan kreasi dari Syaikh Ismail dari Arab.  Gambar ITSS dalam teks SWM dapat menjadi keunikan tersendiri karena letaknya berbeda dengan naskah-naskah lain di Jawa yang mencantumkan ITSS, misalnya Lamongan, Ngawi, dan Gresik.

Ilustrasi ITSS disebut tauhid trimina karena terdapat penjelasan berkaitan dengan unsur-unsur ketauhidan. Dalam teks SWM, ilustrasi ITSS itu digambarkan untuk menjelaskan relasi hamba (kawula) dan Tuhan (gusti) pada saat pertanyaan tentang “orang yang mengetahui Tuhannya menjadi tidak tahu kepada dirinya, bagaimana tingkahnya?”. Dari pertanyaan itu lalu seorang murid hendaknya dapat memahami antara zat (Allah), sifah (ruh), dan af’al (jasad) sebagai satu kesatuan yang diibaratkan dengan tiga ikan satu kepala.

Selain membahas kajian per variabel dalam naskah SWM, Mahrus juga menjelaskan secara integral antara Suluk Cirebon dengan Suluk Iwak Telu Sirah Sanunggal. Di titik ini, sebagai bagian dari tarekat, suluk iwak telu berkaitan dengan zikir dan wirid Syatariyah. Seperti disebutkan dalam teks-teks Syatariyah Cirebon, zikir dan wirid tersebut disimbolkan dengan huruf Lam Alif yang diibaratkan sebagai bahu, dada, dan perut. 

Kedua ilustrasi tersebut menurut Mahrus sebagai suluk Syatariyah hampir sama dengan temuan penelitian pada LOr 7378 tentang 41 Suluk Cirebonan. Hanya saja, dalam 41 suluk itu tidak ada suluk dari lafal-lafal tersebut, tetapi dipengaruhi oleh ajaran Martabat Tujuh.

Ilustrasi tiga ikan satu kepala dapat dianggap menjadi ciri khas Syatariyah Cirebon dengan silsilah Abdullah bin Abdul Qahhar di dalamnya. Akan tetapi, ungkap Mahrus, ilustrasi tiga ikan tersebut tidak hanya di Cirebon saja, sebab ditemukan pula di Drajat Lamongan, Jawa Timur, yaitu naskah milik Kiai H. Muhammad Bakrin. Naskah tersebut ditulis sekitar abad ke-17.  Pada halaman 82 naskah Drajat ini ada kalimat yang menunjukkan bahwa naskah ini mempunyai kaitan asal-usul dengan Cirebon.

Di akhir penjelasannya, dia menyimpulkan bahwa iwak telu sirah sanunggal dalam naskah SWM dapat disebut sebagai suluk Syatariyah di Cirebon. Dengan suluk iwak telu sirah sanunggal dari Cirebon ini telah tersebar ajaran tarekat Syatariyah ke berbagai daerah, baik di Jawa Barat, Jawa Timur, maupun lainnya, seperti Mindanao. Hal itu tercermin pula melalui sosok Abdullah bin Abdul Qahhar, yang menjadi ciri dari Syatariyah dengan ilustrasi iwak telu sirah sanunggal. 

(Red: Fathoni)