Jakarta, NU Online
Indeks Kewirausahaan Indonesia mencapai angka 3,1 persen dari sebelumnya 1,6 persen. Kenaikan tersebut merupakan sinyal bagus karena telah melampaui syarat minimal negara maju yaitu 2 persen wirausaha dari jumlah populasi penduduk di suatu negara.Â
Namun, ratio wirausaha 3,1 persen itu masih lebih rendah kalau dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia yang mencapai 5 persen, Singapura 7 persen atau Jepang 11 persen.
Oleh karena itu, dorongan untuk meningkatkan ratio dengan mencetak calon pengusaha pun terus digenjot pemerintah. Pada upaya menaikkan ratio, ada tantangan yang perlu diperhatikan saat akan memulai dunia usaha.
Ketua Dewan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Nahdliyin (DPP HPN) Dripa Sjabana menyebut dua tantangan yang harus dilewati, yaitu tantangan yang bersifat klasik dan baru.
Ia mengatakan, setidaknya ada sembilan tantangan klasik bagi orang-orang yang akan menjalani wirausaha. Satu dari Sembilan tersebut adalah finansial.
"Di sini yang sering dipersoalkan adalah permodalan, tetapi modal itu ada sembilan sumber daya usaha. Uang itu salah satunya," katanya di Gedung PBNU Jakarta saat menjalin kerja sama dengan Induk Koperasi Annisa (Inkopan) Muslimat NU, Jumat (9/3).
Oleh karenanya, ia menyayangkan kepada calon-calon wirausahawan yang susah melangkah karena hanya berpikir tentang modal. "Makannya pemberdayaan itu bukan memberi pinjaman, (tapi) bagaimana bisnis yang benar," jelasnya.
Selain tantangan klasik, ada pula tantangan yang baru yaitu perubahan model bisnis disrupsi.
Model bisnis disrupsi adalah situasi di mana pergerakan dunia industri atau persaingan kerja tidak lagi linear. Perubahannya sangat cepat, fundamental dengan mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru.
"Tantangan baru ini belum disadari oleh sebagian pengusaha nahdliyin," katanya.
Prinsip model ini menandai dimulainya demokratisasi pengetahuan yang menciptakan kesempatan bagi siapa pun, khususnya pengusaha untuk memanfaatkan dunia teknologi dengan produktif. (Husni Sahal/Fathoni)