Nasional

Santri Harus Bangkit Kuasai Media

Sen, 23 September 2019 | 09:45 WIB

Santri Harus Bangkit Kuasai Media

40 santri utusan pesantren dan siswa madrasah Maarif se-Kota Semarang berpose usai mengikuti Diklat Jurnalistik Milenial di Gedung PCNU Kota Semarang, Ahad, (22/9). (Foto: NU Online/M Ichwan)

Semarang, NU Online
Santri harus bangkit menguasai media, baik media massa maupun media sosial. Terhadap maraknya kampanye brutal dan gerakan radikal, santri harus bisa menangkal. Karena itu kaum santri harus menambah bekal, di antaranya ilmu jurnalistik, yang semakin dibutuhkan di era milenial.
 
Demikian disampaikan Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Semarang, Agus Fathudin Yusuf, ketika memberi pelatihan jurnalistik untuk para santri se-Kota Semarang dalam acara Diklat Jurnalistik Milenial. Acara yang digelar Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) PCNU Kota Semarang bekerjasama dengan Lembaga Pendidikan (LP) Maarif PCNU Kota Semarang dihelat di Gedung PCNU Kota Semarang, Ahad, (22/9).
 
Wartawan senior surat kabar harian Suara Merdeka ini menyatakan, kini bukan saatnya lagi santri hanya  pintar mengaji dan rajin diskusi. Di tengah ganasnya fitnah bertubi-tubi terhadap kyai santri, maka santri harus mengambil peran yang besar di media. Segala hoaks harus dilawan.
 
“Kaum santri, bangkitlah. Kuasai media,” tandas alumnus Ponpes Futuhiyyah Mranggen, Demak, Jawa Tengah ini.
 
Dia ajarkan, menguasai media sosial dimulai cara sederhana, yaitu meng-upload (mengunggah) segala hal tentang pesantren dan dunia santri ke media sosial. Misalnya Kiai berpidato, dikirim ke YouTube. Bu Nyai mengajar, diunggah ke instagram. Lalu menulis manaqib (biografi) tokoh pesantren.
 
Selanjutnya Agus menyatakan, santri patut menjadi jurnalis. Sebab, jurnalis itu seperti ulama, sebagai pewaris Nabi. “Wartawan itu punya misi seperti Nabi. Kita ini seperti ulama. Yaitu menyampaikan pesan-pesan kebenaran,” ujarnya.
 
Karena itulah, lanjutnya, setiap jurnalis harus punya empat sifat Nabi, yaitu shiddiq, amanah, tabligh, fathahah. Dia terangkan, shiddiq artinya jurnalis harus jujur. Tidak berdusta atau menyebar kebohongan. Amanah artinya jurnalis tidak memanipulasi atau mendistorsi fakta.
 
“Itu berarti menjalankan tugas sesuai aturan dan kode etik jurnalistik. Lalu, tabligh artinya jurnalis memberitakan sesuai fakta, dan mengedukasi masyarakat. Kemudian, fathanah artinya jurnalis harus cerdas dan berwawasan luas,” terangnya.
 
Pelatihan bertajuk Santri Siap Melawan Hoaks dan Mengambil Peran di Media ini diikuti oleh 40 santri utusan pesantren dan siswa madrasah Maarif se-Kota Semarang. Usai mendapat materi dari Agus Fathudin, peserta dilatih membuat  soft news. Kemudian peserta diberi ilmu jurnalistik oleh wartawan Tribun Jateng yang juga aktivis Gerakan Pemuda Ansor Jawa Tengah, Nur Huda.
 
Selanjutnya, peserta diberi pembekalan penguasaan internet oleh Praktisi Internet Marketing Wijaya. Dalam paparannya, Wijaya mengajak peserta mempelajari iklan, promosi, dan pembuatan gambar yang bagus untuk ditampilkan di medsos.
 
Pelatihan sejak pagi hingga sore ini didampingi penuh oleh ketua LP Maarif PCNU Kota Semarang H Asikin Khusnan, yang mengevaluasi hasil praktek peserta, dan memberi motivasi agar semangat berlatih. Sementara, sekretaris LTN PCNU Kota Semarang Khamdun Khiyaruddin memberi penilaian hasil praktek tersebut via online di grup WhatApps yang dibentuk khusus untuk pelatihan tersebut. 
 

Kontributor: Mohammad Ichwan
Editor: Musthofa Asrori