Nasional

Saatnya Menggali Nilai Luhur dari Naskah Keagamaan Lokal

Sen, 26 Agustus 2019 | 12:30 WIB

Saatnya Menggali Nilai Luhur dari Naskah Keagamaan Lokal

Salah seorang narasumber tengah menyampaikan pemikirannya dalam Workshop Repositori Naskah Keagamaan Madura di Surabaya. (Foto: Ibnu Nawawi/NU Online).

Surabaya, NU Online

Ada banyak penemuan metode dalam memahami agama. Demikian pula membaca al-Qur’an secara praktis. Belum lagi masalah sosial yang disikapi secara bijak oleh para pendahulu.

 

Hal tersebut telah disampaikan nenek moyang bangsa ini dalam banyak manuskrip dan naskah kuno. Solusi yang diberikan tentu saja lebih relevan karena berdasarkan temuan dan kondisi negeri ini. Justru pendekatan dari ilmuan luar negeri dirasa kurang tepat untuk diterapkan dan merespons problematika yang ada di Indonesia.

 

Penegasan ini disampaikan H Mohammad Isom Yusqi sebelum meluncurkan Repositori Online Naskah Keagamaan Madura, di Surabaya, Selasa (27/8).

 

Menurut Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan dan Diklat Kementerian Agama RI tersebut, selama ini telah berkembang cara membaca kitab kuning yang lebih praktis. “Ada model Amtsilati, juga al-Miftah, Amtsilatut Tasrifiyah dan lainnya. Hal tersebut belum termasuk ilmu faraidl, I’lal, lanjutnya.

 

Dalam pandangannya, Indonesia memiliki kekayaan yang luar biasa sehingga sampai kini orang lebih dimudahkan dalam memahami agama. “Tugas kita saat ini adalah mereformulasi khazanah yang ada sehingga lebih bisa diterima zaman,” katanya di hadapan sejumlah peserta pemilik naskah dan akademisi di Jawa Timur.

 

Menurutnya, para pendahulu telah banyak menuliskan naskah demi menjawab tantangan zaman. Baik dalam hal ekonomi, politik, sosial, ekonomi dan permasalahan lain. Namun yang menjadi pertanyaan besar adalah selama ini jarang yang menggali khazanah yang ada.

 

“Kita lebih membanggakan pendekatan politik, ekonomi, sosial dan sejenisnya dari para ilmuan luar negeri yang tentu saja sangat berbeda kulturnya dengan Indonesia,” kilahnya.

Oleh sebab itu, katanya, yang mendesak dilakukan adalah bagaimana menggali kembali kekhasan dari nenek moyang tersebut lewat manuskrip dan naskah yang bertebaran di sejumlah tempat.

 

Namun demikian usaha ke arah sana ternyata tidak mudah. “Banyak di antara kita yang tidak bisa membaca naskah kuno karena keterbatasan kemampuan dalam memahami teks yang ada,” ungkapnya.

 

Mohammad Isom juga menyoroti kekurang seriusan dalam menjaga warisan para pendahulu. “Mau mencari buku karangan tahun 50-an saja mungkin kita akan kesulitan karena barangnya tidak ada. Apalagi mau mencari naskah yang usianya jauh lebih lama,” jelasnya.

 

Oleh sebab itu dirinya mengajak peserta Workshop Repositori Naskah Keagamaan Madura untuk melakukan reaktualisasi karya pendahulu. “Kita perlu ilmu-ilmu sosial, ekonomi dan ilmu lain yang baru dari para pendahulu,” tandasnya.

 

Sebelumnya, Kepala Balai Litbang Agama Semarang, Somidi mengajak generasi saat ini untuk semakin bangga dengan khazanah yang diwariskan pendahulu. Justru dengan mempelajari warisan para ulama, maka solusi yang ditawarkan lebih aplikatif karena menyesuaikan dengan kondisi masyarakat sekitar.

 

“Tapi masalahnya, apakah kita mampu membaca dan memahami warisan dari para pendahulu?” katanya.

 

Karena untuk dapat memahami warisan para pendahulu harus dibekali dengan kemampuan pembacaan naskah yang memadai. “Di antaranya adalah harus bisa membaca huruf Jawa pegon, demikian juga Arab gundul dengan makna utawi iki iku seperti yang sudah menjadi budaya pemaknaan kitab di pesantren,” ungkapnya.

 

Ikhtiar yang sudah dilakukan oleh Kementerian Agama Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang adalah dengan mendigitalisasi sejumlah naskah yang ada.

 

Keberadaan Balai Litbang Agama Semarang sendiri membawahi 9 propinsi yang meliputi, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kalimantan Tengah.

 

Workshop berlangsung sejak Selasa hingga Jumat (27-30/8) di Hotel Arcadia, Surabaya, Jawa Timur. Para peserta adalah pemilik naskah yang tersebar di empat kota di pulau Madura yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Hadir pula sejumlah akademisi kampus dan kementerian agama.

 

Pewarta: Ibnu Nawawi

Editor: Aryudi AR