Nasional

RUU PUB Digulirkan, Definisi Agama Dipandang Perlu

NU Online  ·  Selasa, 4 Oktober 2016 | 23:35 WIB

RUU PUB Digulirkan, Definisi Agama Dipandang Perlu

Kiri ke kanan: Asrori S. Karni, Abdurrahman Mas'ud, dan Robert W. Hefner.

Jakarta, NU Online
Kementerian Agama melalui Balitbang dan Diklat berupaya menggulirkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Umat Beragama (PUB). Hal ini muncul dalam diskusi Pra Simposium Internasional Kehidupan Keagamaan (International Symposium on Religious Life), Selasa (4/10) di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta.

Diskusi bertema "Definisi Agama di Indonesia: Rekognisi, Proteksi, dan Kepastian Hukum" ini menghadirkan beberapa narasumber antara lain Kepala Balitbang dan Diklat Kemenag Abdurrahman Mas’ud, mantan Sekjen Kemenag Bahrul Hayat, Guru Besar Boston University Robert W. Hefner, dan Redaktur Majalah GATRA yang juga Wakil Ketua LBM PBNU Asrori S. Karni.

Semua narasumber sepakat bahwa sebelum mengajukan RUU PUB ke DPR, sangat penting merancang apa itu definisi agama. Definisi agama ini harus diarahkan pada perlindungan umat beragama di Indonesia sehingga mereka memiliki kepastian hukum.

Hal inilah yang dikritisi oleh Asrori S. Karni bahwa selama ini,  sesuai tema diskusi, ada ketidakpastian hukum dalam  relasi agama dan negara. UU PNPS 1/1965 tentang Penodaan Agama, yang eksplisit menyebut nama 6 agama terbesar, tidak menyebut istilah agama diakui negara atau agama resmi.

Hal itu dipertegas putusan MK tahun 2010 saat menguji materi PNPS tersebut. "Negara tidak memiliki otoritas mengakui atau tidak mengakui agama yang dipeluk warga negara," kata Asrori mengutip putusan MK.

Sebutan enam agama terbanyak dipeluk masyarakat dalam PNPS 1965 itu, kata MK, adalah sebutan faktual-sosiologis. Bukan pengakuan legal. Namun tahun 2006, lahir UU Adminduk, satu-satunya UU yg menyebut konsep agama yang diakui negara. Mestinya UU Adminduk tunduk pada putusan MK sebagai penafsir konstitusi paling otoritatif, berkekuatan final dan mengikat.

"Ini contoh ketakpastian hukum tadi," katanya. Akibat pemilahan konsep agama diakui dan belum diakui itulah, banyak pemeluk agama non-enam besar yang tidak mendapat sejumlah layanan negara yang berkaitan dengan agama.

Seperti akta nikah, akta lahir, identitas agama di KTP dan KK, pendidikan agama, rekomendasi rumah ibadah, dan lain-lain. Sejak itu, kepastian hukum tentang definisi agama dirasa perlu.

“Kasus diskriminasi agama akibat kaburnya definisi agama banyak bermunculan, sehingga definisi agama dipandang perlu,” ujar Asrori.

Definisi ini menurutnya, harus definisi siap saji untuk sebuah UU, bukan definisi akademik yang bersifat makro. Dia juga mendorong RUU PUB ini harus terus dimatangkan dan dikawal secara serius karena selama ini wacana pembuatan UU PUB atau sejenisnya hanya muncul ketika terjadi insiden dan tragedi umat beragama. 

Asrori mencatat, sudah banyak  beberapa model definisi agama yang memadai diserap dalam RUU. Baik versi paparan Abdurrahman Mas’ud (2011 dan 2016), Atho Mudzhar (2011), dan Tim Wantimpres (2011). Menurutnya, dari semua definisi tersebut, yang terpenting untuk diperhatikan adalah semuanya melepaskan dari asumsi adanya agama yang diakui dan tidak diakui.

“Karena asumsi itu yang membuat agama diluar 6 besar merasa belum mendapat perlindungan memadai dan hak-hak pelayanannya pun belum terpenuhi dengan baik,” jelasnya.

Setelah diskusi Pra Simposium ini, pembukaan Simposium Internasional Kehidupan Keagamaan bertajuk "Managing Diversity, Fostering Harmony" ini akan digelar Rabu (5/10) di Hotel Sari Pan Pacific dan dibuka oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Kegiatan ini juga menghadirkan berbagai pakar seperti Robert W. Hefner (Boston University, USA), Gamal Farouq Jibril (Al-Azhar University Cairo, Mesir), Azyumardi Azra (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). 

Selain itu juga digelar diskusi yang akan diisi oleh Ahmad Najib Burhani (LIPI), Syafiq Hasyim (ICIP-PBNU), R. Alpha Amirrachman (CDCC-PP Muhammadiyah), Ahmad Suaedy (Abdurrahman Wahid Center UI), Muhammad Adlin Sila (CDRL-MORA), dan Alimatul Qibtiyah (PSW UIN Yogyakarta). (Fathoni)