Nasional HARI SANTRI 2019

Resolusi Jihad Memiliki Kekuatan Dahsyat

Kam, 24 Oktober 2019 | 11:00 WIB

Resolusi Jihad Memiliki Kekuatan Dahsyat

Ketua Lesbumi-PBNU, KH Agus Sunyoto (pegang mic) saat menjadi narasumber dalam Ngaji Sejarah di halaman gedung GP Ansor Jember. (Foto: NU Online/Aryudi AR)

Jember, NU Online

Resolusi jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari mempunyai kekuatan yang sangat dahsyat. Tidak hanya santri dan umat Islam yang terpanggil untuk angkat senjata melawan serdadu Inggris, tapi juga bromocorah, pemabuk, dan bahkan non Muslim. Mereka dengan ringan melangkahkan kaki untuk melawan serdadu Inggris. Mereka tidak hanya berasal dari Surabaya dan warga lain dalam radius jarak qashar shalat, tapi juga datang dari berbabgai daerah di Jawa Timur.

 

“Resolusi jihad itu mempunyai wibawa yang luar biasa, menyulut semangat semua orang,” ucap Ketua Lesbumi-PBNU, KH Agus Sunyoto saat menjadi narasumber dalam Ngaji Sejarah di halaman gedung GP Ansor Jember, Rabu (23/10).

 

Menurut Kiai Agus, sapaan akrabnya, saat resolusi jihad dikeluarkan, warga Surabaya selaku ‘tuan rumah’ menyambutnya dengan semangat jihad yang tinggi. Padahal waktu itu boleh dikata Surabaya itu tempatnya ‘bonek’ yang suka mabuk-mabukan, tawuran dan sebagainya. Tapi begitu mendengar KH Hasyim menyeru (melalui resolusi jihad) untuk membela tanah air, mereka siap mengorbankan nyawanya untuk menghadapi musuh yang sudah didepan mata. Sebab itu adalah jihad, dan bagi yang meninggal adalah mati syahid yang jaminannya adalah surga.

 

“Jadi mereka senang berperang. Mereka berpikir ‘tanpa perang, tanpa jihad belum tentu masuk surga’. Wong pemabuk, penjudi dan sebagainya. Ini ada perintah dari KH Hasyim Asy’ari, kesempatan emas untuk mati syahid,” lanjutnya.

 

Kiai Agus lalu merinci kondisi Surabaya yang cukup mencekam dari hari ke hari hingga meletusnya perang 10 November 1945. Katanya, tangal 25 Oktober Inggris menurunkan pasukannya sebanyak 6.000 orang untuk menyerang Surabaya. Tanggal 26 Oktober mereka masuk ke kota Surabaya dan membentuk pos-pos pertahanan di berbagai lokasi.

 

“Tanggal 26 sore (Oktober), pasukan Inggris yang sudah menyebar di Surabaya, langsung diserang oleh warga, itu terjadi hingga tanggal 27 Oktober. Terjadi pertempuran sengit antara tentara Inggris dan warga,” urainya.

 

Inggrispun kelabakan. Pemimpin tentara Inggris, Brigadir Jenderal Mallaby lalu meminta bantuan kepada atasannya untuk menghuhungi Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta. Tujuannya meminta agar difasilitasi terjadinya perdamaian di Surabaya. Maka Soekarno dan Hatta dan Menteri Penerangan, Amir Syamsuddin datang ke Surabaya.

 

“Perjanjian damai itu ditandatangani tanggal 30 Oktober. Tapi ternyata tanggal 30 Oktober malam, Jenderal Mallaby digranat di gedung Internasional Jembatan Merah. Dia tewas. Dan Inggris marah, ngamuk luar biasa,” ucapnya.

 

Akhirnya tanggal 31 Oktober pemimpin tentara Inggris mengultimatum warga. Isinya pertama, meminta agar pembunuh Mallaby segera diserahkan. Kedua, warga Surabaya harus menyerahkan segala macam senjatanya. Ultimatum tersebut diberi batas waktu hingga tanggal 9 November pukul 06.00. Jika tidak, maka Surabaya akan dibombardir dari darat, laut dan udara. Saat itu 6 kapal perang Inggris sudah berlabuh di Surabaya. Walaupun demikian, warga tidak pernah ciut nyalinya.

 

“Kelemahan warga itu satu, tidak bisa menerbangkan pesawat. Waktu itu ada 100 pesawat tempur rampasan Jepang di Surabaya, tapi tidak ada satupun yang bisa menerbangkannya,” terang Kiai Agus.

 

Dan karena ultimatum Inggris tidak diindahkan, maka Inggris betul-betul mengamuk. Surabaya dibombadir, dan terjadilah perang 10 November 1945.

 

Pewarta: Aryudi AR

Editor: Ibnu Nawawi