Nasional

Rektor Perempuan Masih Terhitung Jari, PMA 68/2015 Perlu Direvisi

Ahad, 8 November 2020 | 20:00 WIB

Rektor Perempuan Masih Terhitung Jari, PMA 68/2015 Perlu Direvisi

Prof Nina Nurmila saat berbicara dalam ISRL Kemenag. (Foto: NU Online/Musthofa Asrori)

Bogor, NU Online
Ada yang menarik dalam satu sesi diskusi panel pada International Symposium on Religious Life (ISRL) 2020 yang dihelat Balitbang Diklat Kemenag RI kemarin. Pasalnya, Nina Nurmila, seorang panelis, mengatakan perlunya revisi Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 Tahun 2015 dari kebijakan netral menjadi kebijakan afirmatif.


Alasannya, jumlah rektor perempuan tertinggal jauh dibanding jumlah rektor lelaki, padahal Sustainable Development Goals (SDGs) menargetkan Planet 50-50 pada tahun 2030. Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini menyarankan agar merevisi PMA 68/2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua pada Perguruan Tinggi Keagamaan, khususnya pada Pasal 3.
 

“Jadi, saya mengkritisi kepemimpinan PTKIN yang didominasi oleh lelaki. Sementara sekarang banyak dosen-dosen perempuan yang jadi profesor,” kata Nina Nurmila kepada NU Online usai penutupan ISRL yang dihelat di Cisarua Bogor, Kamis (5/11) kemarin.


Baca juga: Simposium Internasional Balitbang Diklat Kemenag Kembali Digelar


Menurut dia, rektor perempuan PTKIN sekarang baru tujuh orang. Meski masih minim, ia melihatnya merupakan kemajuan yang perlu ditingkatkan, karena secara SDGs, UN Woman menargetkan 50% kepemimpinan perempuan pada 2030. “Sekarang sudah 2020. Sisa 10 tahun lagi untuk mengejar ketertinggalan kepemimpinan perempuan itu,” tutur Nina.


Saat ditanya butuh berapa rektor perempuan lagi, Nina mengatakan untuk 58 PTKIN sekarang ini, maka pada 2030 harusnya memiliki 29 rektor. “Sekarang kita baru tujuh, baru 12%. Jadi masih jauh,” tandas Komisioner Purnabakti Komnas Perempuan ini.


Dalam diskusi panel tersebut, ia mempresentasikan makalah berjudul Woman Leadership in Indonesian State Islamic Higher Education (Kepemimpinan Perempuan pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri/PTKIN). Menurut dia, kepemimpinan perempuan memang berbeda dengan lelaki. Untuk kepemimpinan perempuan masih ada kendala. 


Baca juga: ISRL Kemenag Dukung Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di ASEAN


“Selama ini, di kampus yang diberikan posisi strategis kebanyakan hanya lelaki sehingga perempuan kesulitan memenuhi syarat, misalnya, minimum dua tahun menjabat paling rendah sebagai ketua jurusan (atau ketua program studi),” ujar Doktor jebolan The University of Melbourne Australia ini.


“Padahal kapabilitas perempuan juga banyak yang bagus, bisa sama, bahkan lebih. Sayangnya, ada juga yang kurang percaya diri. Nah, saya menganjurkan supaya Kementerian Agama mengubah PMA 68/2015 itu dari kebijakan yang netral gender kepada kebijakan afirmatif untuk menggenjot jumlah rektor perempuan,” sambungnya.


Soal perubahan dari kebijakan yang netral ke afirmatif, Nina menawarkan tiga pilihan revisi untuk Pasal 3 (yang bercetak miring). Pertama, dengan menambahkan kata ‘terutama perempuan’ pada Pasal 3 (1) sehingga menjadi: “berstatus Pegawai Negeri Sipil yang memiliki pengalaman jabatan sebagai Dosen, terutama perempuan.”

Baca juga: Kualitas Makalah dan Presenter ISRL Kemenag Harus Ditingkatkan


Kedua, mengecualikan syarat memiliki pengalaman manajerial sehingga Pasal 3 (4) disarankan berubah menjadi: 4. ‘memiliki pengalaman manajerial pada perguruan tinggi paling rendah sebagai Ketua Jurusan atau sebutan lain paling singkat 2 (dua) tahun, kecuali perempuan.’


Ketiga, menambahkan klausul baru Pasal 3 (10) yang isinya: ‘Representasi calon rektor perempuan dari setiap kampus minimal 50 persen dari semua calon rektor yang diajukan.’


“Jadi, kalau ada calon rektor lelaki 10, harus ada 5 calon perempuan. Kuota 50% untuk perempuan. Kebijakan afirmatif ini akan mendorong perempuan untuk berani mencalonkan diri sebagai rektor karena ada ruang untuk perempuan, ayo kita gunakan,” ujarnya penuh semangat.

Baca juga: Peneliti Australia Sebut Mbah Hasyim Dorong NU Jadi Komunitas Moral


Menurut Nina, kebijakan tersebut bisa menggugurkan dominasi lelaki. Jika misalnya Kemenag berat dengan 50% minimum, bisa mulai dengan kuota 30%. “Dengan 30%, misalnya ada 7 calon rektor lelaki, berarti di dalamnya minimal harus ada 3 calon rektor perempuan. Jika calon rektor yang ada hanya satu perempuan, maka lelaki yang bisa maju cuma 3. Nah, total calon rektor yang bisa diajukan ke Kemenag hanya4 orang,” tegasnya.


ISRL digelar reguler
Terkait gelaran ISRL 2020 yang dihelat Balitbang Diklat Kemenag RI, Nina berharap ISRL dapat terus diselenggarakan secara reguler. Sebab, melalui kegiatan ini para peserta bisa memperbarui pengetahuan mereka tentang hasil penelitian terbaru di bidang kehidupan keagamaan.


“Buat saya, ISRL memang perlu terus diadakan secara reguler. Dengan berpartisipasi pada ISRL, kita bisa meng-update pengetahuan kita tentang riset-riset terbaru di bidang religius life. Kedua, ini merupakan sarana networking (berjejaring),” kata Nina.


Baca juga: Menag: Era Disrupsi Perlu Disikapi dengan Arif dan Moderasi Beragama


“Saya kalau menulis selalu di-driven ataupun didorong oleh konferensi-konferensi semacam ini. Karena adanya konferensi pertama-tama ada call for paper, ada tema-tema yang sudah ditentukan,” sambung alumnus Pascasarjana Murdoch University Australia ini.


Kemudian, lanjut dia, ada guide lain atau template yang diberikan. Lalu ada deadline sehingga para peserta mengikuti apa yang diinginkan oleh konferensi. Dengan adanya deadline kita akan segera menulis.


Nina menambahkan, setelah menulis lalu para peserta bertemu dalam konferensi sebagai celebrating the results of our struggle (merayakan hasil perjuangan kita). “Saya saya support sekali dan senang dengan difasilitasinya pertemuan semacam ini,” ujar Nina bangga.

Baca juga: Prof Gunaryo: Jadikan ISRL 2020 Bursa Ide dan Wahana Berjejaring


Mengenai isu yang muncul di forum ISRL, Nina menilai diskusinya sangat bagus karena membincang beragam isu. Misalnya, soal gender yang selama ini ia tekuni. “Kami diberi ruang untuk presentasi tentang Religion and Women Leadership. Kemudian isu-isu sekarang seperti Islamic populism di mana kekuatan mayoritas menjadi hegemonik kepada minoritas,” tuturnya.


Perempuan yang gemar membaca ini juga mengapresiasi adanya display jurnal, buku, dan majalah yang kesemuanya dibagikan secara gratis. “Itu kan mutual ya. Kita datang ke ISRL mendapat banyak hal: buku, jurnal, dan ilmu pengetahuan baru,” ujar Nina seraya tersenyum.


ISRL yang diinisiasi Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK) Balitbang Diklat Kemenag ini dihadiri para narasumber dari dalam negeri dan mancanegara. Agenda dua tahunan ini dijadwalkan selama empat hari, Senin-Kamis, 2-5 November 2020 di Bogor, Jawa Barat.


Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Kendi Setiawan