Nasional

Pusat Studi Pesantren Kembangkan Penanggulangan Radikalisme

NU Online  ·  Selasa, 5 Juni 2018 | 16:11 WIB

Jakarta, NU Online
Lembaga pendidikan klasik pesantren masih mempunyai peran strategis untuk menanggulangi paham-paham radikal, terutama kepada para generasi muda yang saat ini mudah terpapar konten-konten radikalisme di sejumlah platform media sosial.

Problem tersebut harus disikapi dengan tepat oleh para stakeholders pesantren dengan memproduksi narasi-narasi positif, baik dalam bentuk tulisan, infografis, maupun video. Bahkan, tahap memproduksi pun tidak cukup, sebab para santri dan pengelola pesantren harus mampu bagaimana menyebarluaskan dan mendistribusikan konten dengan baik.

Hal itu mengemuka ketika Pusat Studi Pesantren (PSP) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) untuk menyiapkan kegiatan Halaqah Kiai dan Nyai, Selasa (5/6) di Jakarta. Halaqah yang akan diadakan untuk ketiga kalinya ini masih fokus membahas radikalisme sebab di Indonesia sendiri ruang-ruang penumbuhan paham radikal masih bergerak masif, terutama di lembaga-lembaga pendidikan.

Founder PSP Achmad Ubaidillah mengatakan, kiai dan nyai sebagai pihak yang mempunyai pengaruh besar atas pesantrennya saat ini harus didorong bukan hanya sekadar memiliki knowledge, tetapi juga harus menguasai keterampilan-keterampilan tertentu sesuai perkembangan zaman, seperti mampu memproduksi video, dan lain-lain.

“Saat ini, yang terpenting bukan hanya memiliki knowledge, tetapi juga skill. Langkah ini yang nanti kita dorong dalam halaqah nanti,” ujar Ubaidillah saat membuka kegiatan FGD.

Dalam pertemuan terbatas dengan menghadirkan beberapa expert ini, Ubaidillah akan memformat halaqah menjadi dua bagian, yaitu kelompok yang fokus memproduksi narasi-narasi dalam bentuk tulisan dan video.

Salah seorang pembicara, Irfan Abu Bakar menuturkan, beberapa survei yang diaksesnya menunjukkan bahwa tren radikalisme kerap menyasar para generasi muda. Meskipun jumlahanya masih 20 persen, angka ini hendaknya jangan dilihat dari sebagian kecilnya, tetapi pengaruhnya terhadap yang sebagian besarnya.

“Survei PPIM UIN Jakarta sendiri menunjukkan angka fifty-fifty antara generasi yang berhaluan moderat dan radikal. Tentu hal ini memunculkan kekhawatiran tersendiri sehingga narasi-narasi kontra radikalisme memerlukan pendekatan baru agar diterima generasi muda,” ujar Irfan.

Paham radikal, sambungnya, muncul dan terpeliharan melalui narasi-narasi keagamaan yang bersifat masif. Ia mengungkapkan bahwa kelompok konservatisme agama tersebut memunculkan sebuah narasi induk atau master of naration yang berasal langsung dari Al-Qur’an dan Hadits untuk melegitimasi narasi-narasi individual yang mereka terus reproduksi.

“Seperti seruan berjihad, berhijrah, khilafah, bom bunuh diri, dan lain-lain. Itu semua menggunakan narasi induk yang ada dalam Al-Qur’an, Hadits, dan sejarah Islam,” ucap Irfan yang juga menatakan, secara retorika, mereka juga telah terlatih agar si penerima informasi tertarik.



Sementara itu, seorang Sutradara Film Nurman Hakim yang juga dihadirkan sebagai expert menuturkan, fenomena sebagian umat Islam yang terinspirasi dari film-film yang cenderung menempilkan Islam secara simbolik, Islam yang dipahami hanya dipermukaan, dan hanya menampilkan Islam secara hitam putih, terlihat masif di tengah masyarakat.

“Film-film tersebut terlihat digemari oleh masyarakat kita saat ini. Dengan kata lain, mereka mengamini pesan-pesan yang ingin diajarkan dalam film-film tersebut,” ujar Nurman Hakim.

Mereka, sambungnya, seolah menemukan cermin diri mereka di dalam film-film semacam itu. Dan saat ini, film maupun video berdurasi pendek yang berisi pesan-pesan positif tentang Islam dibutuhkan agar narasi-narasi Islam tidak didominasi pemahaman-pemahaman Islam yang cenderung hitam putih dan dipahami hanya dipermukaan.

Selain itu, Pimpinan Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak, Banten KH Nurul Huda Ma’arif yang juga hadir sebagai expert mengatakan, saat ini para kiai, ulama, dan para ustadz harus menguasai "3R" dalam rangka menyampaikan Islam yang sejuk dan ramah.

“Tiga R ini ialah mimbar, lembar, dan layar,” jelasnya.

Mimbar ini penting diisi oleh para ulama yang mempunyai pemikiran dan pola dakwah yang menyejukkan dan menyatukan, tidak memecah belah.

Namun, kemampuan di mimbar ini harus dilengkapi dengan kemampuan seorang kiai atau ustadz untuk menuliskan pemikiran dan gagasan inklusifnya ke dalam bentuk tulisan. Upaya ini untuk mengisi media-media agar muncul narasi-narasi Islam yang ramah.

Begitu juga dengan layar, dalam hal ini pembentukan film dan video. Ia menuturkan bahwa ulama dan kiai di kampung-kampung itu tidak sedikit yang mempunyai kemampuan ceramah yang baik dan memiliki pemikiran yang moderat dan menyejukkan.

“Namun, mereka kurang terekspos layar sehingga skala dakwahnya kurang menyentuh orang banyak,” ucap Kiai Nurul.

Selain ketiga narasumber di atas, sejumlah narasumber atau expert lainnya dari berbagai latar belakang juga dihadirkan oleh PSP untuk melengkapi rancangan Halaqah Kiai dan Nyai ketiga tahun 2018. Kegiatan FGD ini dipandu oleh Founder alif.id Hamzah Sahal. (Fathoni)