Nasional

Prinsip Kemaslahatan Atap Kokoh Bangunan Keluarga

Jum, 6 November 2020 | 04:00 WIB

Prinsip Kemaslahatan Atap Kokoh Bangunan Keluarga

Bangunan keluarga maslahah beratapkan prinsip kemaslahatan yang hanya dapat dibangun jika fondasi, pilar, dan tembok sudah kuat.

Jakarta, NU Online
Bangunan keluarga maslahah mesti dibangun di atas tiga fondasi utama yakni muadalah (keadilan), mubadalah (kesalingan), dan muwazanah (keseimbangan). Fondasi ini akan kuat menyangga lima pilar yang harus ditegakkan dalam hubungan keluarga.

 

Kelima pilar itu adalah perspektif zawaj (pasangan suami istri), mitsaqon gholidzho (perjanjian agung), mu’asyarah bil ma’ruf (hubungan yang baik), taradhin (keridhaan), dan musyawarah (berdiskusi). Jika pilar-pilar tersebut kuat dan tegak maka temboknya pun akan kokoh. Sebaliknya, apabila pilar tidak ada, walhasil tembok pun sulit untuk berdiri.

 

Sementara itu, bangunan keluarga maslahah ini tentu saja beratapkan prinsip kemaslahatan. Atap tersebut hanya dapat dibangun jika fondasi, pilar, dan tembok sudah kuat. Oleh karena itu, bangunan akan menjadi kokoh dan utuh.

 

“Seluruh anggota keluarga bisa berteduh dengan baik di dalam rumah. Atapnya adalah kemaslahatan,” ungkap Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) Alissa Wahid dalam tayangan Merasakan Peran Keluarga di Tengah Pandemi.

 

Dengan demikian, bangunan keluarga maslahah akan dihuni bukan hanya oleh orang yang shalih dan shalihah, tetapi juga muslih dan muslihah. Walhasil masing-masing anggota keluarga dapat mendatangkan dan membawa kebaikan. 

 

Bahkan, bangunan keluarga ini pun harus menyumbang kebaikan kepada lingkungan yang lebih besar sehingga kelak tercipta mabadi khaira ummah (strategi pembentukan masyarakat terbaik). Strategi ini pertama kali diinisiasi atau dikemukakan oleh KH Mahfudz Shiddiq pada 1942.

 

Di dalam mabadi khaira ummah terdapat tiga hal agar warga Nahdliyin dapat maju dalam hal akhlak. Ketiganya itu adalah ash-shidqu (jujur), al-amanah (dapat dipercaya), dan at-ta’awun (tolong-menolong). “Ini tiga yang pertama pada 1942,” jelas Alissa.

 

Lalu dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU pada 1992, mabadi khaira ummah dikembangkan menjadi lima yakni ash-shidqu (jujur), al-amanah (dapat dipercaya), at-ta’awun (tolong-menolong), al-‘adalah (keadilan), dan al-istiqamah (keteguhan).

 

"Jadi kalau ditanya akhlak orang NU seperti apa? Kita sudah punya panduan itu," tegas Alissa.

 

Lebih jauh dikatakan bahwa konsep kemaslahatan adalah apabila masing-masing individu dapat memberi maslahat bagi anggota keluarga yang lain, kemudian beranjak kepada mashalihul ammah (kemaslahatan publik).

 

Setelah itu, mabadi khaira ummah ini akan bisa terwujud. Kemudian dapat tercipta baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negara yang baik dan penuh ampunan Tuhan). Jadi, Alissa menguraikan bahwa kemaslahatan yang terdapat di dalam keluarga tidak berhenti pada anggota keluarga saja.

 

"Tetapi dia juga menyumbang pada kemaslahatan yang lebih besar di luar," ungkapnya.

 

Sebagai contoh, jika kehidupan tetangga di lingkungan banyak yang bercerai, kerap berkelahi satu sama lain, dan gemar marah-marah maka mabadi khaira ummah yang dicita-citakan oleh ulama NU itu tidak akan bisa tercapai.

 

"Itulah yang menjadi pekerjaan rumah kita,” ucap Alissa.

 

Dengan begitu, bangunan keluarga maslahah ini dapat didirikan dari berbagai hal. Pertama, fondasi yang bagus, tebal, kuat, dan tertanam dalam. Selanjutnya lima pilar yang juga harus berdiri tegak dan kokoh. Terakhir, beratapkan kemaslahatan yang dapat menjadi payung bagi kehidupan berkeluarga.

 

“Setelah itu barulah terwujud sakinah (menenteramkan), mawaddah (cinta), rahmah (kasih sayang). Inilah suasana batin di dalam rumah yang bisa terwujud kalau konstruksi bangunannya memang kokoh. Sehingga ketika ada persoalan, gempa, hujan badai, banjir, bangunan keluarganya tidak langsung ambruk,” pungkas Alissa.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan