Nasional

Politik Identitas Munculkan Pemilih Primitif

Selasa, 16 Mei 2023 | 19:30 WIB

Politik Identitas Munculkan Pemilih Primitif

Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU Hasanuddin Ali (Foto: NU Online/M Faizin)

Jakarta, NU Online
Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU Hasanuddin Ali mengatakan bahwa dalam pilihan politik, seseorang boleh memilih calon anggota legislatif dan presiden berdasarkan kesamaan agama, suku, dan identitas lainnya. Namun, tidak cukup itu, seseorang harus dengan benar-benar paham kompetensi dan kredibilitas calon yang akan dipilih.


Inilah yang menjadikan salah satu alasan mengapa politik identitas mampu berdampak negatif bagi kemaslahatan masyarakat dan bangsa. 


"Seseorang bila memilih kandidat presiden, kandidat caleg, kandidat bupati, kandidat gubernur, bila hanya berdasarkan kesamaan agama, kesamaan ras, kesamaan suku, adalah pemilih yang primitif," tegasnya di Jakarta, Selasa (16/5/2023).

 

Seharusnya dan idealnya menurut Hasan, para pemilik suara memilih kandidat yang ada berdasarkan ide dan gagasannya. Karena seseorang yang akan mewakili dan memimpin diharapkan membawa daerahnya mampu mencapai cita-cita yang lebih baik.


Sementara, ungkapnya, para pelaku politik di Indonesia saat ini sering menempuh jalan-jalan pintas untuk mendapatkan simpati dan meraup suara dari masyarakat. 


"Dan jalan pintasnya apa? Menggunakan agama, menggunakan identitas," ungkapnya di depan para tokoh agama pada acara TOT Penguatan Moderasi Beragama bagi Tokoh Agama di Balai Pusdiklat RI, Selasa (16/5/2023).


Hasan mengungkapkan bahwa politik identitas bisa mengganggu kondusivitas dan menjadikan polarisasi di tengah masyarakat. Hal ini terbukti dari efek yang muncul dari Pilpres lalu yang sangat kental dengan politik identitas atas nama agama.


Fenomena tantangan toleransi
Pada kesempatan tersebut, Hasan juga memaparkan bahwa politik identitas dalam kontestasi politik menjadi salah satu fenomena tantangan toleransi saat ini di Indonesia. Klaim kebenaran absolut sering mengiringi praktik-praktik beragama yang menjauhkan dari sikap toleran dan menyalahkan yang lain.


Tantangan toleransi lainnya seperti dipengaruhi oleh perkembangan digital khususnya di media sosial. Narasi beragama secara eksklusif dan sektarian di media ditambah dengan masifnya hoaks dan ujaran kebencian ikut memperkeruh suasana toleransi di tengah keragaman Indonesia. 


Oleh karenanya, saat ini masif digaungkan prinsip moderat dalam beragama melalui program moderasi beragama. Ia mengibaratkan moderasi beragama seperti vaksin yang menghalau virus-virus yang merusak tubuh. 

 

Jika seseorang telah memahami dan mempraktikkan moderasi beragama, ia akan bisa menghalau virus-virus radikalisme, ekstremisme, atau terorisme.


Politik Identitas menurut Gus Yahya dan Gus Yaqut
Terkait dengan politik identitas Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menyebut aktor politik yang kerap memainkan politik identitas dalam kontestasi pemilu sebagai penipu. Pasalnya, kata dia, politik identitas hanyalah alat untuk menutupi kekurangan kompetitor.   


“Politikus yang pake identitas sebagai alat politiknya itu penipu,” ujar Gus Yahya


Maka, lanjut dia, tidak berlebihan jika para pemain politik identitas dijuluki sebagai penipu karena dampak nyata politik identitas adalah memustahilkan musyawarah mufakat, yang dapat merugikan bangsa.


Senada, Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor H Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) yang juga Menteri Agama RI mengingatkan masyarakat Indonesia untuk waspada dengan penggunaan politik identitas bernuansa keagamaan yang kembali marak akhir-akhir ini. 


Menurut Gus Yaqut, politik identitas dengan memanfaatkan simbol-simbol agama rawan memecah-belah umat. Bahkan, membahayakan keutuhan bangsa. Memasuki tahun politik, banyak aktor politik yang berpikiran sempit demi memuluskan kepentingannya.

 

Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan