Pesantren Tawarkan Kearifan Relasi Pengajar-Pelajar
NU Online · Rabu, 1 Agustus 2012 | 01:24 WIB
Jakarta, NU Online
Ketika sistem pendidikan nasional mengalami krisis, nilai keguruan pesantren masih sanggup bertahan menjaga visi pendidikan. Keguruan di pesantren dengan sistemnya yang unik, menawarkan kearifan relasi pengajar-pelajar.<>
“Sebutan ’guru’ dalam pesantren tetap digunakan. Sebutan tersebut mengandung kekuatan dan menegaskan identitas keluhurannya,” kata Darmaningtiyas, peneliti pendidikan dalam diskusi publik bertajuk ‘Pesantren dan Tantangan Pendidikan’ di lantai delapan Gedung PBNU, jalan Kramat Raya nomor 164, Jakarta Pusat, Selasa (31/7) sore.
Sebagai contoh, KH. Hasyim Asyari saat belajar kepada Kiai Cholil Bangkalan, pernah diminta untuk memindahkan air dari sumbernya. Peristiwa itu memberikan pelajaran berharga bahwa seorang manusia mesti menjaga air sebagai sumber daya alam.
Bagi Darmaningtiyas yang sering mendatangi sebuah pesantren di Guluk-Guluk, Madura, pendidikan pesantren seperti contoh di atas, memberikan penanaman nilai yang cukup visioner. Sebelum orang jauh kemudian hari mengampanyekan ‘Go Green’, pesantren sudah menerapkan materi pendidikan ramah lingkungan hidup.
Sementara dalam dunia pendidikan nasional, tambah Darmaningtiyas, di hadapan sedikitnya 150 peserta diskusi yang juga dihadiri KH. Said Aqil Siroj, Ketum PBNU, sebutan ‘guru’ bergeser menjadi ‘tenaga pendidik’. Pergeseran sebutan berimplikasi pada penurunan kualitas hubungan pengajar-pelajar.
Pengajar sekolah hanya bersifat tenaga pendidik. Tenaga pendidik secara profesional, tidak lebih dari sekadar penyampai ilmu pengetahuan. Tugas fungsional tenaga pendidik, mengesampingkan posisinya sebagai tokoh panutan dan teladan dalam dunia pendidikan.
Kiblat keteladan pada diri pengajar, berubah haluan. Bagi para pelajar, guru sekolah hanya staf pengajar belaka. Pelajar hanya menyerap materi pelajaran yang disampaikan. Sedangkan kearifan pengajar sendiri, bukan bagian dari pelajaran.
Kekeringan keteladanan pendidik menjadi bukti kegagalan relasi pengajar-pelajar dalam pendidikan nasional. Adalah sebuah keniscayaan bila tragedi ini terjadi. Karena, kurikulum dan bangunan relasi pengajar-pelajar di sekolah, tidak menyediakan ruang integralitas seperti berlaku dalam dunia pesantren.
Bukti nyata krisis pendidikan sekolah, adalah minimnya internalisasi nilai-nilai yang diajarkan. Hal ini berujung pada pecahnya aspek intelektualitas dan moralitas pelajar. Fenomena ini bisa disaksikan di banyak media, tutup Darmaningtiyas.
Redaktur: Mukafi Niam
Penulis : Alhafiz Kurniawan
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab
3
Pandu Ma’arif NU Agendakan Kemah Internasional di Malang, Usung Tema Kemanusiaan dan Perdamaian
4
360 Kurban, 360 Berhala: Riwayat Gelap di Balik Idul Adha
5
Saat Katib Aam PBNU Pimpin Khotbah Wukuf di Arafah
6
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
Terkini
Lihat Semua