Nasional

Pesan Ahmad Tohari kepada Sastrawan Muda

NU Online  ·  Senin, 25 April 2016 | 21:01 WIB

Jakarta, NU Online
Anak-anak muda NU perlu mengembangkan sastra, bukan hanya diabdikan untuk NU, tetapi juga kepada Indonesia. Bahkan bila dirasa perlu kepada dunia, kepada peradaban ini.

Demikian dikatakan sastrawan senior, Ahmad Tohari saat berbincang dengan NU Online, Sabtu (23/4) di Jakarta, sebelum bertolak ke Makasar untuk mengisi workshop ‘Pengembangan Softskill Karya Sastra Religi Siswa Madrasah Aliyah di Kawasan Indonesia Timur’ yang digagas Balai Litbang Agama Sulawesi Selatan.

Menurut penulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk ini, sastra di Islam sebetulnya sudah lama berlangsung. Misalnya sastra-sastra yang mengajarkan hukum-hukum Islam, etika Islam, maupun adab-adab. Sedangkan di Indonesia, sastra Islam sudah ada sejak Sultan Ali Haji pada abad ke-18 dengan salah satu karyanya Gurindam 12.

Selain itu, lanjut Tohari, suku-suku di Indonesia juga sudah akrab dengan bermacam-macam puji-pujian, misalnya di Jawa, Sunda, dan Madura. Puji-pujian itu termasuk sastra lisan yang semuanya mengajarkan nilai-nilai keislaman. Menurutnya sastra Islam adalah sastra yang disemangati oleh nilai-nilai keislaman. Di dalamnya tidak harus mengajarkan dalil-dalil agama Islam. Selama sastra itu mempertinggi keadaban manusia, maka itu disebut sastra Islam.

Penulis kelahiran Banyumas, 13 Juni 1948 ini mengingatkan kepada anak-anak muda NU untuk menyadari bahwa sastrawan NU yang masih ada saat ini, sudah berusia tua. Selain dirinya, ada penyair D Zawawi Imron, Gus Mus, dan Acep Zamzam Noor.

“Tapi saya tahu (penulis) yang muda-muda di kalangan NU juga mulai tumbuh dan mulai banyak,” kata Tohari yang dikukuhkan harian Media Indonesia sebagai salah satu dari 46 Tokoh Inspiratif Penakluk Dunia.

Tohari mengaku mengikuti perkembangan sastra di kalangan muda NU. Beberapa diantaranya seperti Binhad Nurahmat yang aktif dengan gerakan "NU Miring", Candra Malik, dan Abdullah Wong adalah sejumlah nama yang bisa disebut dalam jajaran penulis sastra dari kalangan anak muda NU saat ini.

“Dan masih banyak sekali anak-anak muda NU yang berusia di bawah 30 tahun sudah melahirkan karya-karya yang menurut saya menuju proses pematangan dan pendewasaan,” ujarnya.

Ketika ditanya bagaimana agar penulis muda tidak cepat putus asa, Tohari mengatakan agar para penulis muda terus berproses. Karena siapa pun tidak serta merta menjadi penulis terkenal. Seorang menjadi penulis terkenal menjalani proses yang lama. 

“Saya sendiri kan mulai menerbitkan karya sastra pada tahun 1971. Kalau dihitung sampai sekarang itu sudah 45 tahun saya berkaryasastra. Jadi kalau katakanlah karya saya mendapatkan pengakuan, itu karena telah berproses lama sekali. Nah itu artinya apa? Anak-anak muda sekarang pun akan mencapai hal seperti itu apabila mereka terus berproses. Jangan berhenti berproses,” saran Tohari. 

Ia berpendapat tidak ada salahnya bila peminat sastra menjadikan berkarya sastra pada tahap awal sebagai hobi. Tetapi, hobi itu bukan berarti main-main. Karya sastra dari penulis baru biasanya sulit dijual, artinya orang yang baru-baru sulit untuk mendapatkan penghasilan dari karya sastra. 

“Boleh-boleh saja kok seorang sastrawan itu jadi wartawan, pedagang, dosen atau guru, ndak papa. Jadi boleh-boleh saja misalnya ada anak muda yang pedagang kemudian menulis karya sastra. Apalagi bila sastrawan tersebut sudah berkeluarga. Saya tidak setuju apabila sastrawan mengabaikan anak istrinya. Jadi silakan saja berdagang sambil berkarya sastra,” pungkas Tohari.(Kendi Setiawan/Zunus)