Nasional

Dimensi Edukasi Jadi Temuan Baru Disertasi tentang Strategi LAZ Ormas Islam Berbasis Digital

NU Online  ·  Selasa, 29 Juli 2025 | 13:15 WIB

Dimensi Edukasi Jadi Temuan Baru Disertasi tentang Strategi LAZ Ormas Islam Berbasis Digital

Achmad Mukafi Niam saat ujian terbuka promosi doktor di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Senin (28/7/2025) di Auditorium Prof Suwito. (Foto: dok. NU Online)

Jakarta, NU Online

Dimensi edukasi menjadi temuan H Achmad Mukafi Niam, Pemimpin Redaksi NU Online 2015-2022, dalam disertasinya yang berhasil dipertahankan pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Senin (28/7/2025). Disertasinya berjudul Strategi Pengembangan Sharia Governance Berbasis Digital pada Lembaga Amil Zakat Ormas Islam.


Selama ini, penelitian mengenai penggunaan media sosial yang dilakukan organisasi masyarakat disebut hanya memiliki tiga dimensi, yaitu informasi, komunitas, dan aksi yang dikembangkan Kristen Lovejoy and Gregory D. Saxton.


"Penelitian ini mengembangkannya menjadi empat dimensi dengan menambahkan dimensi edukasi yang merupakan bagian penting dan cukup dominan dalam postingan media sosial lembaga zakat sebagai upaya untuk peningkatan literasi zakat sekaligus sarana dakwah," kata Niam.


Dimensi edukasi ini, jelasnya, dirancang untuk menangkap peran strategis organisasi dalam memberikan pengetahuan kepada masyarakat, terutama terkait dengan peningkatan pengetahuan tentang zakat atau ajaran  keislaman secara umum.


"Melalui edukasi, organisasi tidak hanya menyampaikan informasi tetapi juga meningkatkan literasi zakat," ujarnya.


Oleh karena itu, ia melihat bahwa digitalisasi dapat efisien jika digunakan oleh banyak pengguna. Hal ini mengingat biaya pengguna sedikit dan banyak tidak terlalu beda. Dari sini, ia menyebut organisasi dengan basis massa yang banyak lebih diuntungkan.


"NU dan Muhammadiyah lebih diuntungkan dibanding organisasi zakat relatif kecil," katanya.


Digitalisasi ini juga, katanya, telah diterapkan lembaga zakat. LAZ telah berhasil meningkatkan kemudahan bagi muzakki dan mustahiq untuk memaksimalkan pemanfaatan.


Lebih lanjut, Niam menjelaskan bahwa penerapan sharia governance dalam kerangka akuntabilitas digital pada LAZ berbasis ormas Islam menunjukkan kemajuan awal. Meskipun demikian, ia melihat hal tersebut belum optimal.

 

Pasalnya, dimensi syariah telah diakui sebagai aspek terpenting, tetapi implementasinya masih terbatas. Pun praktik akuntabilitas digital bervariasi antar-lembaga dan belum seluruhnya mencerminkan prinsip keterbukaan dan keterlibatan publik yang ideal.


"Dimensi kesesuaian syariah memiliki bobot tertinggi dalam AHP namun implementasinya masih rendah yang menunjukkan adanya gap antara nilai normatif dan praktik digital," ujarnya.


Hasil risetnya juga menunjukkan bahwa akuntabilitas website lembaga berada pada rentang 70,94%–54,40% dengan rata-rata 62,84%, mencerminkan belum optimalnya keterbukaan informasi digital. "Engagement tertinggi tercapai pada konten video berdimensi komunitas, menegaskan pentingnya penyampaian akuntabilitas yang interaktif dan emosional melalui media sosial," kata Niam.


Tantangan digital

Oleh karena itu, ia melihat masih ada tantangan dalam pengembangan layanan digital yang mendukung sharia governance pada LAZ ormas Islam bersumber dari kombinasi faktor internal dan eksternal. Meskipun terdapat modal kekuatan ideologis dan dukungan komunitas, hambatan struktural internal serta dinamika eksternal yang cepat menuntut strategi adaptif dan kolaboratif.


"Komitmen ideologis dan jejaring ormas menjadi fondasi kuat untuk pengembangan digital berbasis nilai syariah, meskipun belum dimanfaatkan secara optimal," katanya.


Keterbatasan SDM digital, anggaran operasional, serta ketergantungan pada sistem eksternal juga menyebabkan layanan digital tidak konsisten dan kurang adaptif.


Tidak hanya itu, adopsi teknologi digital yang meluas dan regulasi pendukung membuka ruang kolaborasi dengan fintech syariah dan platform digital untuk memperkuat tata kelola. Persaingan dari platform crowdfunding, risiko keamanan digital, dan sensitivitas publik terhadap isu penyalahgunaan dana menjadi tekanan eksternal yang harus diantisipasi.


Strategi

Hasil risetnya juga menunjukkan bahwa strategi pengembangan sharia governance berbasis digital pada LAZ ormas Islam harus menjawab tantangan struktural dan kultural yang belum tertangani secara sistemik. Sebab, hasil sintesis SWOT–TOWS–QSPM menegaskan bahwa keberhasilan strategi sangat bergantung pada integrasi nilai syariah, kompetensi digital, dan kolaborasi lintas aktor.


Ekspansi digital berbasis nilai dan kolaborasi fintech syariah merupakan strategi utama dengan skor tertinggi dalam QSPM; mengedepankan integrasi nilai syariah, pemanfaatan teknologi digital, dan kolaborasi strategis untuk memperkuat akuntabilitas dan legitimasi publik.


"Penguatan SDM digital difokuskan untuk membangun kompetensi internal dalam mengelola media sosial, produksi konten, dan interaksi dengan publik berbasis prinsip syariah," kata dosen FEB Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) itu.


Optimalisasi jaringan ormas untuk pendanaan digital bertujuan memperkuat keberlanjutan layanan digital melalui mobilisasi sumber daya internal dan eksternal berbasis jaringan sosial-keagamaan. Pun juga penguatan sistem keamanan dan standarisasi pelaporan syariah digital penting guna mengantisipasi ancaman eksternal melalui pembangunan sistem yang aman, kredibel, dan selaras dengan prinsip akuntabilitas syariah.


Dengan demikian, lanjutnya, strategi yang dirumuskan tidak hanya berfungsi sebagai respons terhadap kelemahan dan ancaman, tetapi juga sebagai peta jalan menuju tata kelola zakat berbasis ormas yang lebih akuntabel, partisipatif, dan sesuai syariah.


"Integrasi antara prinsip sharia governance, inovasi digital, dan kepekaan sosial menjadi landasan penting untuk menciptakan sistem pengelolaan zakat yang adaptif terhadap era digital sekaligus kokoh dalam nilai-nilai Islam," pungkasnya.