Nasional

Perang Israel-Palestina, Problem Kemanusiaan yang Harus Direspons Bersama

Rab, 8 November 2023 | 20:00 WIB

Perang Israel-Palestina, Problem Kemanusiaan yang Harus Direspons Bersama

Diskusi umum bertajuk Duka Palestina Duka Dunia yang digelar NU Online di Gedung PBNU Jalan Kramat Raya 164 Jakarta, Rabu (8/11/2023). (Foto: NU Online/Aceng)

Jakarta, NU Online

Konflik antara Israel dan Palestina tak kunjung reda, bahkan perang kembali pecah saat Hamas menyerang Israel 7 Oktober lalu, kemudian Israel membalas dengan serangan udara. Namun perang antara keduanya bukanlah menyangkut konflik agama.


Hal ini diungkapkan Sekretaris Komisi Antar-Agama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Abraham Silo Wilar dalam diskusi umum bertajuk Duka Palestina Duka Dunia di Gedung PBNU Jalan Kramat Raya 164 Jakarta, Rabu (8/11/2023). 


"Press release, dari PGI dalam delapan hari terakhir menegaskan bahwa isu Palestina bukan sekadar isu satu komunitas agama, secara khusus muslim. Tetapi ini isu kemanusiaan yang harus kita respons bersama," ujar Abraham.


Abraham membeberkan, banyak tokoh dan pemikir yang menjadikan pergumulan dan pengalaman Palestina jadi bahan kajian akademik mitri rahib. Rahib atau biarawan adalah anggota tarekat atau ordo keagamaan yang berkarya di sebuah biara dengan klausura ketat yang disebut pertapaan.


"Sekali lagi isu atau konflik Palestina-Israel bukan monopoli atau tidak bisa disejajarkan sebagai isu kaum muslim. Ini adalah isu bersama dan jauh sebelum itu sudah ter-cover berbagai media. Mereka secara tegas mengutuk dan memberi perhatian khusus kepada Palestina namun tetap menjaga dialog dengan Yahudi," jelasnya.


Sementara itu, peneliti Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Irine Hiraswari Gayatri menyebut, meski konflik dua negara ini bukanlah konflik agama tetapi agama menjadi satu faktor penting karena menyangkut pemahaman antar generasi soal migrasi dan perjanjian tanah.


"Sebetulnya konflik ini melibatkan kelompok manusia yang tinggal di atasnya dan kemudian menarik perhatian dari negara lain termasuk imperialisme Eropa," ungkap Irine.


Mengapa konflik ini menarik solidaritas internasional? Irine mengatakan, tidak lain dan tidak bukan karena operating one nation Palestine. Dalam konteks geopolitik sejak tahun 1948 solidaritas internasional sudah muncul. Namun di sisi lain ada artikulasi modal yang cukup besar pada tahun 1950, 1960, 1970 sebagai situasi global pasca perang. 


"Di sini kemudian modal internasional menarik wilayah-wilayah Timur Tengah. Otomatis ini membuat relasi-relasi diplomasi antar negara Eropa dan Amerika yang giat membangun makin terbarui. Indonesia yang baru lepas dari penjajahan tentu setia dengan alenia ke 4 UUD 1945 untuk memberikan solidaritas ke Palestina," terangnya.


Irine memandang konflik dua negara yang banyak mengorbankan masyarakat sipil ini tak terlepas dari sejarah panjang gerilya dan posisi Hamas yang memenangkan pemilu sehingga menjadi legitimate aktor dalam konteks Palestina. Hal ini yang kemudian menjadi frame internasional bahwa konflik tersebut adalah konflik antara Israel dan Hamas.


"Ini yang disadari generasi baru di Indonesia termasuk yang mendukung tagline Free Palestine dan juga beberapa kelompok kritis dari social justice Amerika, Inggris, Jerman termasuk di Australia," imbuhnya.


Sebagai pembicara pungkasan, Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla memandang konflik Palestina tak hanya persoalan Palestina saja tapi juga menjadi masalah domestik di berbagai negara.


"Semua negara berkepentingan dengan kalkulasinya masing-masing. Jadi masing-masing negara punya cara menyikapi Palestina bukan demi Palestina," jelasnya.


Di Indonesia, terang Ulil, ada dua pandangan dalam melihat persoalan Palestina. Palestina sebagai masalah Palestina sendiri dan Palestina sebagai masalah domestik di berbagai kelompok di Indonesia.


"Ini harus dibedakan. Ada berbagai pendekatan yang berbeda dari kalangan Islam untuk melihat masalah Palestina. Ada kalangan Islam yang melihat sebagai konflik agama," jelasnya.


Ulil menegaskan, sejak dulu PBNU memandang  konflik Palestina bukan konflik keagamaan. Ini adalah masalah sebuah bangsa yang berjuang untuk mendirikan negara.


"Jadi ini adalah masalah self determination yang Ini menjadi prinsip dalam preambule UU 1945 bahwa semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan kemerdekaannya," terang Gus Ulil.