Nasional

Peran Penting NU Meredam Kekerasan 1965 di Kalsel

NU Online  ·  Selasa, 24 November 2015 | 05:15 WIB

 Jakarta, NU Online
NU merupakan faktor penting tidak terjadinya kekerasan antarmasyarakat sipil di Kalimantan Selatan ketika pecah peristiwa politik pada tahun 1965. Pernyataan ini dikemukakan oleh Toga Tambunan, ketika bertindak sebagai salah seorang pembahas dalam diskusi buku “Berlayar di Tengah Badai: Misbach Tamrin dalam Gemuruh Politik-Seni” yang berlangsung di Galeri Nasional.<>

Di dalam buku yang membahas kehidupan perupa Misbach Tamrin, kelahiran tahun 1941 di Amuntai, Kalimantan Selatan, yang pernah mendekam selama 13 tahun di penjara Orde Baru karena tuduhan komunis, terungkap bahwa di Kalimantan Selatan relatif tidak terjadi kekerasan antar masyarakat sipil pada tahun peralihan politik tersebut.

Memang ada penangkapan-panangkapan dan kemudian juga penahanan-penahanan tanpa pengadilan –seperti yang dialami Misbach Tamrin dan Toga Tambunan—tetapi berbeda dengan di beberapa daerah di Jawa, Bali atau bahkan Kalimantan Tengah. Di Kalsel tidak ada misalnya perburuan, penyerangan, penangkapan, atau bahkan pembantaian masyarakat sipil terhadap masyarakat sipil lainnya, dalam hal ini para aktivis PKI dan atau yang dianggap terkait dengannya. “Tidak ada yang namanya ‘dibon’ seperti di Jawa seperti yang saya dengar belakangan,” demikian pengakuan Misbach seperti dikemukakan dalam buku.

Acara yang berlangsung akhir pekan lalu (22/11) itu dihadiri Hairus Salim HS dan Hajriansyah yang merupakan penulis buku, dan E. Z. Halim, Sihar Ramses Simatupang, dan Sulistyono yang juga turut menjadi pembahas. 

Misbach sendiri beranggapan  bahwa relatif tidak adanya kekerasan itu karena faktor Jenderal Amir Machmud, Pangdam Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan kala itu, yang menurutnya merupakan pengagum Sukarno. Namun anggapan itu diragukan oleh Toga Tambunan. Menurutnya, ada tiga faktor mengapa masyarakat setempat yang bukan PKI tidak turut mengejar-ngejar atau menumpas orang yang dianggap PKI.

Pertama, lanjutnya, di kalangan masyarakat Banjar saat itu sangat kuat ikatan kekeluargaan. Mereka mengenal istilah bubuhan, artinya anggota keluarga besar. Beberapa orang Banjar sendiri banyak yang aktif di PKI atau pun organisasi yang dekat dengannya. Jadi kekerabatan ini mampu mencegah kekerasan. Tapi selain itu, tambah Toga, orientasi keagamaan orang Banjar sangat moderat. Kebanyakan mereka orang NU. Jadi NU dan juga peran seorang tuan guru di Martapura yang sangat dihormati masyarakat setempat saat itu, punya pengaruh besar tidak terjadinya kekerasan.

Toga menceritakan bahwa sebelum ia tertangkap ia sempat bersembunyi dari satu daerah ke daerah lain di pelosok Kalimantan Selatan dan bertemu dengan banyak orang. Toga yakin mereka tahu siapa tahu siapa sebenarnya ia, tetapi mereka seperti tidak peduli. Bahkan sebagian ada yang membantu, tambahnya.      

Memang Kalimantan Selatan tercatat sebagai basis Partai NU di luar Jawa saat itu, bahkan hingga kini. Ketua Umum NU saat itu adalah KH. Idham Chalid yang berasal dari Kalimantan Selatan. Tak heran kalau di Kalimantan Selatan NU merupakan partai terbesar pada tahun 1965 itu.

Apa yang dikemukakan Toga bisa disebut sebagai kesaksian. Toga bercerita datang ke Banjarmasin tahun 1962 sebagai pegawai kesehatan yang dikirim pemerintah pusat untuk ikut menangani penyakit malaria yang menyebar di kawasan tersebut. Karena senang menulis dan berkesenian, ia kemudian turut mengelola LEKRA Kalimantan Selatan bersama Misbach Tamrin. Hal itulah yang menyeretnya ke tahanan selama 14 tahun, meski ia mengaku bukanlah anggota PKI. “Saya sebenarnya anggota Partindo (Partai Indonesia),” katanya. “Sebelum ke Banjarmasin, saya redaktur kebudayaan Bintang Timur, milik Partindo,” tambahnya seusai diskusi.

Kesaksian Toga Tambunan yang dikemuakan dalam diskusi buku ini cukup menarik perhatian peserta diskusi. Diskusi buku ini sendiri sebenarnya merupakan bagian dari Pameran Tunggal Misbach Tamrin berjudul “Arus Balik” yang pembukaannya berlangsung pada 20 November dan dihelat hingga 30 November 2015 di Galeri Nasional. (Red: Mahbib)

 

Foto: Ilustrasi