Nasional

Penulisan Sejarah Indonesia, Perlu Berbenah dalam Menarasikan Fakta dan Data

NU Online  ·  Jumat, 23 Mei 2025 | 21:01 WIB

Penulisan Sejarah Indonesia, Perlu Berbenah dalam Menarasikan Fakta dan Data

Suasana diskusi bertema "Penulisan Sejarah Indonesia 2025" di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (23/5/2025). (Foto: Syakir/NU Online)

Jakarta, NU Online 
Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Ahmad Ginanjar Sya'ban menyampaikan bahwa perlu ada perubahan arah dalam penulisan sejarah, khususnya di kalangan internal NU.


"Harus mulai ada pergeseran bagaimana kawan-kawan di internal NU menulis sejarah atau sumber sezaman yang berhubungan dengan gerakan NU," ujarnya dalam diskusi bertema "Penulisan Sejarah Indonesia 2025" di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (23/5/2025).


Pasalnya, sampai saat ini, ia belum menemukan narasi yang apik dalam menggambarkan peristiwa masa lalu. Sebagai contoh, ia menyebut narasi tentang Komite Hijaz yang masih dibatasi dengan hanya sekadar sebagai upaya untuk tidak ada pembongkaran makam Nabi.


"Padahal narasinya NU menunjukkan kemahiran diplomatik KH Abdul Wahab Chasbullah bertemu Raja Abdul Aziz," katanya.


Pun tidak ada narasi yang menggambarkan dinamika para kiai NU dalam menanggapi Syarikat Islam. Padahal, ada sejumlah ulama yang membahas organisasi tersebut, seperti Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari menulis kitab Kafful Awam 'an al-Khawash fi Syarikat al-Islam dan dikritik gurunya, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dengan kitab lagi.


Ia juga menilai perlunya ada inventarisasi sumber-sumber yang berkaitan dengan sejarah ke-NU-an tersebut yang demikian melimpah ruah dan berserakan di berbagai wilayah. Hal itu juga perlu didukung dengan adanya repositori khusus.


Senada, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mohammad Fathi Royyani juga melihat belum ada yang menarasikan dengan apik sejarah lingkungan. Soal kayu manis, misalnya, Indonesia memiliki jenis yang sangat kuat dan dipercaya melebihi jenis yang terdapat di India dan China. Namun, karena belum adanya narasi di tengah dunia akademik sehingga mumi di Mesir diyakini memiliki kandungan kayu manis dari dua negeri itu, bukan Indonesia.


Bahkan, Al-Qur'an juga menyebut kapur yang sangat mungkin berasal dari Barus, Sumatera Utara. "Kemenyan, kapur barus itu juga sudah digunakan bahkan disebut di Al-Qur'an," ujar peneliti yang menamatkan studi doktornya dalam bidang Antropologi di Universitas Indonesia itu.


Sementara itu, Budayawan Hairus Salim menilai bahwa sejarah menjadi salah satu dari tiga masalah yang diributkan masyarakat multikultural selain agama dan pendidikan.


"Penulisan sejarah selalu masalah," ujar penulis buku Gus Dur Sang Kosmopolit itu.


Pasalnya, lanjut Salim, setiap kelompok dalam masyarakat multikultural itu menulis sejarahnya sendiri, bahkan menulis kelompok lain dalam versinya.


Oleh karena itu, ia menyampaikan harapannya agar penulisan sejarah ini tidak menimbulkan friksi perpecahan, melainkan justru mempersatukan. "Mengintegrasikan kita, bukan memecah belah kita," katanya.


Diskusi ini dihadiri Kepala Editor Penulisan Sejarah Indonesia Prof Susanto Zuhdi dan Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia sekaligus Direktur Sejarah dan Kemuseuman Kementerian Kebudayaan Prof Agus Mulyana. Agenda ini diikuti oleh para peminat, pengkaji, dan penulis sejarah di kalangan NU secara luring dan daring.