Jakarta, NU Online
Hasanuddin Ali, Founder dan CEO Alvara Research Center mengatakan terdapat sejumlah ciri-ciri kelompok radikal dan teroris yang bisa dikenali melalui media sosial.
“Mereka melakukan indoktinasi dengan menanamkan nilai-nilai (tafsir) agama yang radikal, ekstrim, dan tertutup tentang jihad dan khilafah,” kata Ali pada Diskusi Memperkuat Media Mainstream dalam Melakukan Kontranarasi, Rabu (7/3) di Hotel JS Luwansa, Jakarta.
Ali menyebutkan, melalui media sosial kelompok tersebut menggunakan ayat-ayat atau dalil misalnya untuk membenarkan pembunuhan.
“Ciri berikutnya adalah provokasi. Mereka membangkitan kebencian, kemarahan, permusuhan atau anti terhadap NKRI serta seruan untuk jihad, i’dad (latihan) dan hijrah,” lanjut Ali pada kegiatan yang diinisiasi Wahid Foundation.
Selain itu, kelompok tersebut melakukan pelecehan terhadap negara.
“Penghinaan terhadap simbol-simbol atau lembaga negara, seperti presiden/wakil presiden konstitusi, Pancasila, UUD 45, TNI/Polri, Densus 88, BNPT,” ujarnya.
Melalui media sosial juga kelompok radikal membagikan materi pelatihan (‘idad) seperti cara merakit bom, senjata api, rompi peledak ranjau jalan, sangkur beracun, membobol ATM, taktik perang, strategi kemiliteran.
Tidak hanya itu mereka juga melakukan jual beli senjata.
“Memperjualbelikan berbagai macam jenis senjata api (senpi), senapan angin (sengin), samurai (katana) pisau, golok, panah,” kata penulis buku Millenial Nusantara.
Secara terbuka mereka melakukan aksi penggalangan yang bisa jadi untuk mendukung aksi teror yang mereka sebut sebagai amaliyah.
Ciri-ciri terakhir, mereka menyebarkan ancaman pembunuhan terhadap anggota TNI/Polri atau orang lain yang dicap kafir.
Ali meminta masyarakat waspada, karena pengguna internet di Indonesia yang tinggi.
"Dari 262 juta penduduk Indonesia 146, 26 juta atau 54, 68 mengakses internet," kata Ali.
Dari angka tersebut 87, 13 persen menggunakannya untuk media sosial, di mana 83, 4 persen dari keseluruhan pengguna media sosial adalah generasi milenial. (Kendi Setiawan)