Nasional

Pendekatan Tasawuf Harus Berkontribusi Positif untuk Kemanusiaan

NU Online  ·  Jumat, 18 Juli 2025 | 20:00 WIB

Pendekatan Tasawuf Harus Berkontribusi Positif untuk Kemanusiaan

Diskusi Pakar bersama Pakar Sufisme dan Filsafat Islam asal Turki Prof Mahmud Erol KILIÇ di Institute for Humanitarian Islam (IFHI) di Menteng, Jakarta Pusat pada Jumat (18/7/2025). (Foto: Abdullah Gymnastiar)

Jakarta, NU Online

Pakar Sufisme dan Filsafat Islam asal Turki Prof Mahmud Erol KILIÇ menyampaikan sudut pandang tasawuf dalam konteks krisis kemanusiaan yang semakin marak terjadi di dunia.


Ia menjelaskan bahwa dalam menjaga perdamaian dunia, hal yang paling mungkin dilakukan adalah bekerja sama dengan negara-negara lainnya di dunia untuk saling membagi dan memahami perspektif masing-masing. 


“Perdamaian tentu tidak terlahir dari satu pihak saja. Kita bisa bekerja sama dengan negara-negara di dunia untuk saling membagi perspektifnya,” ujar Prof Kiliç dalam Diskusi Pakar yang diselenggarakan rutin oleh Institute for Humanitarian Islam (IFHI) di Menteng, Jakarta Pusat pada Jumat (18/7/2025). 


Dalam dunia tasawuf, berkembang perspektif bahwa dunia ini dibuat dengan berisi berbagai problem, baik yang sudah ada atau yang akan terjadi. Dengan begitu, dunia yang berisi peluang dan tantangan akan terus mengalami dinamika perubahan karena hal positif maupun negatif yang terjadi bisa menjadi sumber permasalahan. Di tengah perubahan dunia yang terus terjadi ia menjelaskan bahwa pendekatan tasawuf tidak hanya berfokus pada mewujudkan perdamaian. 


"Sufi approach adalah untuk bisa berkontribusi dalam jalan positif untuk segala aspek kemanusiaan, bukan aspek tertentu saja" ujar sosok yang juga merupakan Direktur Jenderal IRCICA (Research Centre for Islamic History, Art and Culture).


Pendekatan sufistik yang paling sederhana dapat dimulai dari diri sendiri, yakni dengan melakukan refleksi agar benar-benar mengenal diri sendiri.


“Pertama mengetahui siapa dirimu sesungguhnya, apa yang kamu lakukan, apa kewajibanmu terhadap keluarga, tetangga, negara, dan tentu saja kepada kemanusiaan,” jelasnya.


Ia berpendapat, dengan mengenal diri melalui pendekatan sufistik akan berdampak pada cara seseorang dalam bernegara, termasuk para pemimpin-pemimpin negara. Sufisme tidak bisa dipergunakan untuk tujuan politik apa pun tetapi bisa memberi pedoman bagi setiap individu agar menjalankan agama secara seimbang, lahir dan batin.


“Bukan harus segalanya setara tetapi setidaknya dasar-dasar kesetaraan itu harus ada dan ini menjadi manifestasi tasawuf untuk berkontribusi dalam membangun sebuah negara,” ujarnya.


“Itulah mengapa saya menyarankan kepada negara muslim untuk mendapatkan manfaat dari tasawuf dalam agama Islam,” imbuhnya.


Senada, CEO Center for Shared Civilization Values (CSCV) C Holland Taylor menyebut indeks kebahagiaan seorang manusia dipengaruhi karena agama. Menurutnya, agama mempunyai peran besar karena pendekatan tak hanya secara lahir tetapi juga batin.


Sebagai contoh, sosok yang kerap disapa Haji Muh ini memaparkan bagaimana Islam berperan di tengah kebhinekaan masyarakat Indonesia.


“Nilai-nilai luhur dari agama Islam yang tidak berusaha menghilangkan tentang (tradisi) dari dulu tetapi menyempurnakan,” paparnya.


Kebinekaan yang ada di Indonesia bisa menjadi contoh bahwa umat beragama dapat bisa tetap rukun bersama dalam kehidupan bernegara.


Diskusi ini juga dihadiri oleh Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI Abu Rokhmad, Wasekjen PBNU Ahmad Ginanjar Sya’ban, Akademisi Amerika Serikat Timothy Shah, dan akademisi serta masyarakat umum.