Jakarta, NU Online
Sepanjang tahun 2017, PBNU merekam kejadian-kejadian penting terkait perdamaian internasional. Antara lain angin perubahan politik yang berhembus di Arab Saudi, sisa-sisa etnonasionalisme di Catalonia Spanyol, tragedi etnis Rohingnya di Myanmar, dan manuver sepihak Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Perihal kasus Yerusalem, PBNU menyayangkan keterbelahan sikap negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI (organisasi konferensi Islam) saat merespons manuver AS terkait dengan penetapan Yerusalem sebagai ibu kota Israel menandakan lemahnya solidaritas akibat kurangnya dialog dan kerja sama.
“Karena itu, PBNU mengimbau negara-negara yang tergabung dalam OKI lebih intensif menjalin dialog dan kerja sama agar solid dalam merespons isu-isu kemanusiaan yang membutuhkan kebulatan sikap dan solidaritas,” ujar Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam acara Muhasabah 2017 dan Resolusi Kebangsaan 2018, Rabu (3/1) di Kantor PBNU Jakarta.
Selain itu, PBNU menyambut baik keinginan Arab Saudi yang hendak mengembangkan Islam wasathy, yaitu manhaj Islam moderat sebagaimana dianut mayoritas umat Islam Indonesia.
Menurut Kiai Said, keinginan ini perlu disambut oleh Pemerintah Indonesia dengan mengintensifkan dialog dan kerja sama dengan Kerajaan Arab Saudi dalam rangka mengakselerasi penyelesaian damai atas sejumlah konflik di Timur Tengah.
PBNU juga menyoroti tragedi Rohignya mengingatkan perlunya penguatan nation-state berbasis kewargaan (civic nationalism), bukan sentimen etnis yang membuat suku mayoritas merasa berhak mendominasi atau bahkan menyingkirkan etnis minoritas.
Kenyataan bahwa semua nation-state di dunia terdiri dari banyak suku bangsa, termasuk Indonesia, mengajarkan perlunya penguatan prinsip persamaan, kesetaraan, dan keadilan bagi semua warga negara tanpa diskriminasi SARA.
“Prinsip ini ada di dalam Pancasila, tetapi mulai diabaikan bahkan diingkari oleh kelompok yang dengan enteng men-thagut-kan Pancasila,” tegas Pengasuh Pondok Pesantren Al-Tsaqafah Ciganjur, Jakarta Selatan ini.
Negara modern seperti Spanyol, imbuhnya, masih didera isu etnonasionalisme Catalonia, tetapi Indonesia telah berhasil melewati masa-masa genting itu di awal-awal reformasi. Ini tidak lepas dari peran Pancasila sebagai kalimatun sawa atau common denominator yang menjembatani berbagai agama, suku, golongan, dan kepercayaan.
“Kejadian-kejadian di dunia menjadi cermin agar bangsa Indonesia bersyukur mempunyai Pancasila yang harus terus dijaga, dilestarikan, dan diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” tandas guru besar ilmu tasawuf ini. (Fathoni)