Nasional

Pakar Sebut Negara Telah Lakukan Penyimpangan Norma Pungutan Pajak

NU Online  ·  Rabu, 11 Juni 2025 | 18:15 WIB

Pakar Sebut Negara Telah Lakukan Penyimpangan Norma Pungutan Pajak

Pakar Hukum Politik Perpajakan Prof Edi Slamet Irianto dalam ISNU Forum for Investment, Trade, and Global Affairs di lantai 8 Gedung PBNU, Jakarta Pusat pada Rabu (11/6/2025). (Foto: TVNU/Juned)

Jakarta, NU Online

Pakar Hukum Politik Perpajakan Prof Edi Slamet Irianto menyebut bahwa negara telah melakukan penyimpangan dalam norma-norma pemungutan pajak.


Menurutnya, penyimpangan itu bersumber pada kurang tepatnya insentif fiskal atau dana yang diberikan pemerintah yang seharusnya diberikan kepada daerah berdasarkan kinerja tertentu karena diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melainkan diberikan kepada modal asing serta kepemilikan modal besar.


Hal itu diungkap Prof Edi dalam forum diskusi bertajuk ISNU Forum for Investment, Trade, and Global Affairs di lantai 8 Gedung PBNU, Jakarta Pusat pada Rabu (11/6/2025).


"Insentif fiskal diberikan bukan berdasarkan kepentingan ekonomi nasional, namun didasarkan pada kepentingan investor, terutama pada sektor sumber daya alam. Terbukti, SDA (sumber daya alam) dieksploitasi besar-besaran namun tidak mampu menutup defisit APBN," katanya.


Walhasil penyimpangan itu berbuah pada kebijakan perpajakan saat ini yang mendorong orang kaya makin kaya dan rakyat ekonomi lemah makin lemah karena terus diburu untuk bayar pajak.


Selain itu, Prof Edi menjelaskan bahwa kebijakan penerimaan negara saat ini tidak jelas. Hal itu disinyalir karena tidak dapat membedakan antara pajak dan penerimaan negara bukan pajak.


"Pembayar pajak di Indonesia tidak dapat merasakan manfaat membayar pajak, namun selalu ketidakpatuhan wajib pajak telah menjadi kambing hitam dari otoritas perpajakan," jelas Guru Besar Universitas Islam Sultan Agung itu.


Ia melihat, pemerintah kurang tepat dalam memposisikan investor untuk eksploitasi SDA, sehingga negara sebagai pemilik dan penguasa SDA banyak dirugikan.


Realitas politik Indonesia dalam perpajakan

Tak segan, Edi mengungkapkan realitas politik Indonesia dalam dunia perpajakan. Ia menilai, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani terkesan lebih berkuasa dari Presiden, terbukti program Presiden untuk memenuhi janji politiknya ditolak hanya oleh pikirannya Menkeu saja. Padahal, secara konstitusional kuasa fiskal berada di tangan Presiden.


"Menkeu terkesan berjalan di luar barisan presiden, sebagai contoh nyata; A. Menolak target pertumbuhan ekonomi delapan persen dan menolak mendirikan Badan Penerimaan Negara. B. (Menkeu) Menolak perampingan organisasi kementeriannya, terbukti telah menambah unit eselon 1 Badan Intelijen Keuangan Negara," katanya.


Tak hanya itu, kritik pedas kepada Menkeu juga dilontarkan Prof Edi. Ia menjelaskan bahwa Menkeu kini terkesan tidak peduli dengan kondisi fiskal yang morat-marit, bahkan terkesan berlindung di balik Presiden.


"Pemerintah selalu mendalilkan kesulitan penerimaan negara akibat kondisi ekonomi global, tetapi tidak pernah memberikan argumen untuk meningkatkan penerimaan negara secara serius," tegasnya.


Akibatnya, tax amnesty (pengampunan pajak) dan implementasi core tax (sistem perpajakan digital terbaru) yang dijanjikan akan berdampak pada perluasan basis pemajakan sehingga meningkatkan tax ratio belum ada tampak hilalnya.


"(Lebih lagi) Menkeu memiliki 31 jabatan penting, sehingga tidak mungkin bisa fokus pada penerimaan negara yang meminta waktu, perhatian, pemikiran, dan menuntut keputusan yang cepat dan sangat dinamis," terangnya.


Forum ini juga dihadiri oleh Ketua PBNU KH Aizuddin Abdurrahman (Gus Aiz), Ketua ISNU Forum Hery Haryanto Azumi, Founder Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam, dan Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun.