Nasional

Moderasi Beragama Terwujud melalui Aktivitas Nyata

NU Online  ·  Sabtu, 28 Juli 2018 | 06:00 WIB

Moderasi Beragama Terwujud melalui Aktivitas Nyata

Lokakarya Pengarusutamaan Moderasi Beragama sebagai Implementasi Resolusi Dewan HAM PBB 16/18

Jakarta, NU Online
Sekretaris PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti mengungkapkan moderasi dalam beragama akan terlihat dan memberikan impak jika ada aktivitas dan keaktifan secara riil di masyarakat.

“Ada kesamaan ajaran (membela kemanusiaan), respons, tanggung jawab bersama. Tidak hanya doa bersama, namun ada aktivitas riil,” katanya pada Lokakarya Nasional Pengarusutamaan Moderasi Beragama sebagai Implementasi Resolusi Dewan HAM PBB 16/18 di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Kamis (26/7).

Karena itu untuk membangun moderasi beragama harus ada kerja sama walaupun agamanya berbeda. Mu’ti menyebut setelah kejadian tsunami beberapa organisasi dan agama bersatu untuk mebantu kemanusiaan. Kemudian saat mengatasi persoalan etnis Rohingya sejumlah ormas melalui lembaga zakat seperti Lazismu, NU Care-LAZISNU, Dompet Dhuafa dan sejumlah lembaga zakat lainnya bahu membahu menyalurkan bantuan dan mengirimkannya untuk etnis Rohingya.

“Dengan adanya kerja sama antarlembaga lintas iman, ketika ada musibah akan sama-sama membantu sehingga meminimalisir adanya dugaan kristenisasi, islamisasi dan lainnya,” katanya.

Menurut Mu’ti, Muhammadiyah memandang bahwa Islam adalah agama Allah yang diturunkan untuk umat manusia melalui para rasul-Nya sebagai ajaran dan nilai-nilai kebenaran yang membawa manusia kepada jalan keselamatan dan kebahagiaan material dan spiritual di dunia dan di akhirat.

Manusia memiliki kebebasan untuk memilih agama dan bertanggungjawab sepenuhnya atas pilihan dan segala perbuatannya. “Karena itu, tidak ada paksaan dan tidak boleh ada pemaksaan di dalam beragama,” ujarnya.

Disampaikan juga bahwa toleransi merupakan pemahaman, sikap, dan perilaku terhadap perbedaan keyakinan. Toleransi dalam pengertian ini meliputi tiga aspek. Pertama, pemahaman mengenai perbedaan. Kedua, sikap terhadap perbedaan. Ketiga, perilaku dalam memahami dan menyikapi perbedaan.

Adapun dalam menyikapi perbedaan terdapat empat  kelompok. Pertama, mereka yang anti terhadap perbedaan (intoleran). 
Kedua, mereka yang memahami adanya perbedaan tetapi tidak dapat menerima perbedaan, disebut juga toleransi negatif atau pasif.

Ketiga, mereka yang memahami dan bisa menerima perbedaan tetapi tidak bersedia mengakomodir dan bekerjasama dengan mereka yang berbeda keyakinan, disebut jugatoleransi aktif. Dan keempat, mereka yang memahami, menerima, mengakomodasi, bekerjasama, dan membantu mereka yang berbeda keyakinan. Pluralisme keempat ini disebut juga pluralisme positif.

“Dalam membangun kerukunan intern dan antar umat beragama diperlukan pluralisme positif, bukan sekedar toleransi aktif,” tegasnya. (Kendi Setiawan)