Nasional

Menjadi Guru, Menjadi Penjaga Ideologi Negara

Ahad, 1 Desember 2019 | 02:30 WIB

Menjadi Guru, Menjadi Penjaga Ideologi Negara

Saresehan Kebangsaan Malam Renungan Hari Guru di Unusia Jakarta Pusat, Sabtu (30/11) malam. (Foto: NU Online/A Rahman Ahdori)

Jakarta, NU Online
Guru merupakan profesi mulia yang tak boleh diabaikan oleh semua kalangan. Tanpa guru, transformasi ilmu pengetahuan terhadap sesama anak bangsa tidak akan terjadi. 
 
Namun, yang juga harus dipahami menjadi guru adalah menjaga ideologi negara. Sebab, guru adalah tauladan bagi murid pengaruhnya sangat besar terhadap ideologi anak. Makanya ketika ada siswa yang terpapar radikalisme sangat mungkin dipengaruhi oleh ideologi guru yang setiap hari mengajarinya di Sekolah. 
 
Pernyataan itu disampaikan praktisi Pendidikan Indonesia Yana Priyatna saat menjadi narasumber kegiatan Saresehan Kebangsaan Malam Renungan Hari Guru yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu). Kegiatan tersebut berlangsung di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jl Amir Hamzah, Jakarta Pusat, Sabtu (30/11) malam. 
 
Yana mengatakan, setiap menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun, gurulah yang paling mengetahui perkembangan institusi sekolah dan murid-murid. Guru juga yang dapat memetakan persoalam persoalan murid di kelas dan sekolah. Sehingga jika murid dan guru serta sekolah memiliki kecenderungan dipengaruhi oleh ideologi radikalisasi agama perlu ditanya kepada para guru tersebut. 
 
"Kalau sekolah dan murid-murid memiliki kecenderungan ke arah pemahaman agama yang radikal dan intoleransi sudah dipastikan guru akan memahami, memetakan, membuat kesimpulan-kesimpulan, dan menyusun program-program untuk tindakan pedagogisnya. Sehingga, para gugu dapat menanam para murid untuk membangun kcsadaran toleransi dan demokrasi," katanya.
 
Yana menegaskan program pendidikan untuk menjaga ideologi negara dari gerusan pemahaman radikalisasi agama dapat dimulai oleh para guru di sekolah. Misalnya guru melakukan tindakan-tindakan pedagogis yang membangun kesadaran kepada para murid untuk membangun sikap toleransi dan demokratis. 
 
Untuk itu Yana menilai,  seorang guru perlu memahami secara filosofis dasar negara Pancasila. Termasuk hubungan negara dan agama dalam berbagai persfektif. Kemudian seorang guru juga diminta untuk memberikan pemahaman yang utuh kepada siswa dalam rangka membangun kerangka berfikir sehingga menjadi pandanhan hidup oleh siswa tersebut.
 
"Hasil riset dan survei sudah banyak menemukan dan memetakan sekolah dan perguruan tinggi 'terkontaminasi' oleh pemahaman keagamaan radikal. Pemahaman yang menolak Pancasila sebagai dasar negara, mereka berkeinginan untuk mendirikan negara Islam dan berobsesi untuk menjalankan syariatisasi negara yaitu hukum-hukum negara lslam, bahkan mencap Pancasila sebagai thogut," katanya. 
 
Dalam diskusi itu Yana berkeinginan guru menguasai ilmu pendidikan (pedagogik). Sebagaimana dalam ayat 14 pasal 1 UU Guru dan Dosen No 14 tahun 2005.
 
Dalam perkembangan ilmu pendidikan ada dua mazhab, Anglo Amerika dan Kontinental. lmu Pendidikan dalam mazhab Anglo Amerika sebagai ilmu multidisipliner (Sosiologi Pendikan, Psikologi Pendidikan, Filsafat Pendidikan, Sejarah Pendidikan, Antropologi Pendidikan, Ekonomi Pendidikan).
 
"Mazhab kontinental cirinya, adalah pertama, studi pendidikan secara ilmiah tidak berangkat atau tidak mendapatakan bantuan dari disiplin ilmu lain. Kedua, berangkat dari konsep (pendidikan), pedagogik sebagai disiplin ilmu normatif, disiplin ilmu yang tidak hanya mengartikulasikan tujuan pendidikan dan pengembangan pedoman untuk praktik pendidikan, tetapi juga menjustiflkasi, memberikan alasan-alasan atau penemuan tujuan-tujuan tersebut," tutupnya. 
 
Hadir juga pada kegiatan tersebut Wakil Ketua PP Pergunu Aris Adi Leksono, dan praktis Pendidikan Indonesia Wardi Jim.
 
Kontributor: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Kendi Setiawan