Nasional

Mengkhawatirkan, 41,6 Persen Mahasiswa PAI Pandang Pemerintah 'Thaghut'

Kam, 10 Januari 2019 | 12:00 WIB

Jakarta, NU Online
Center for The Study of Islam and Social Transformation (CISForm) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang bekerja sama dengan PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengungkapkan, sebanyak 41,6 % mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam berpandangan bahwa pemerintah Indonesia thaghut (sesat, jauh dari kebenaran Islam).

"Angka 41,6 % ini dalam konteks pemahaman dan memang cukup mengkhawatirkan," kata Direktur CISForm Muhammad Wildan saat memaparkan hasil penelitian lembaganya yang bertajuk Menanam Benih di Ladang Tandus: Potret Sistem Produksi Guru Agama Islam di Indonesia di Hotel Aryaduta Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (10/1).

Baca: Hasil Penelitian 71, 56 Persen Ulama Terima Konsep Negara-Bangsa
Selanjutnya, sejumlah 36,5% mahasiswa Prodi PAI berpandangan bahwa Islam hanya dapat tegak dengan sistem khilafah, 27,4% mahasiswa memiliki pandangan boleh menggunakan kekerasan dalam membela agama. Adapun di level dosen Prodi PAI: sebanyak 14,2% dosen PAI setuju bahwa Islam harus ditegakkan dengan negara Islam dan 16,5% setuju menggunakan kekerasan dalam agama.

Menurut Wildan, akhir-akhir ini banyak orang, khususnya pemuda yang pandangan keagamaannya mengarah terhadap negara Islam dan khilafah. "Saya kira di kalangan generasi muda juga meyakini bahwa Islam tidak akan tegak dengan khilafah, apalagi dibumbui isu-isu kalau khilafah, semuanya selesai, semuanya beres. Ini kan melihat fenomena sosial dengan pandangan keagamaan yang hitam-putih," ucapnya prihatin.

Selain itu, CISForm menemukan beberapa kelemahan di sistem produksi guru agama. Pertama, 32,9% mahasiswa Prodi PAI berasal dari SMA/SMK umum. Kedua, sistem Pendaftaran Mahasiswa Baru (PMB) memberikan peluang bagi calon mahasiswa yang tidak mempunyai background pengetahuan agama yang memadai seperti SMA/SMK umum masuk melalui jalur SPAN-PTKIN. 

Ketiga, komposisi mata kuliah profesional (keislaman) dalam kurikulum Prodi PAI hanya berkisar 30% dan lebih banyak pada aspek pedagogis (40-45%) dan penunjang (30%). Keempat, sebagian dosen PAI mempunyai kompetensi Bahasa Arab kurang memadai. Kelima, Kegiatan Belajar-Mengajar (KBM) belum mengajarkan cara berpikir kritis. Keenam, kegiatan keagamaan di lingkungan kampus seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK) mempunyai pengaruh signifikan terhadap pembentukan pemahaman keagamaan mahasiswa.

Penelitian yang diselenggarakan pada Agustus hingga Oktober 2018 ini mengambil sampel di 19 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) di 8 wilayah. Lokasi penelitian dipilih secara purposive dengan beberapa pertimbangan, yakni kota besar yang mempunyai PTKI besar yang sudah banyak meluluskan banyak guru PAI, kota yang berdekatan dengan daerah yang rentan radikalisme, dan institusi yang terpilih berdekatan dengan institusi swasta lainnya.

Adapun nama PTKI yang menjadi sampel penelitian sebagai berikut: UIN Imam Bonjol Padang, STAI Pengembangan Ilmu Al-Qur'an Padang, UIN Raden Intan Lampung, Universitas Muhammadiyah Lampung, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta, IIQ Jakarta.

Kampus lainnya, ialah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Institut Islam Mambaul Ulum Surakarta, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Universitas Islam Malang, UIN Alauddin Makassar, Universitas Muslim Indonesia Makassar, UIN Antasari Banjarmasin, IAI Darussalam Martapura, UIN Mataram, IAI Nurul Hakim Mataram.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif yang terdiri atas beberapa kegiatan: Pertama, review dokumen meliputi kebijakan, silabus, kurikulum, buku, ajar, dan Rencana Pembelajaran Semester (RPS). Kedua survei dilakukan terhadap 169 dosen dan 981 mahasiswa. 

Responden dosen dipilih berdasarkan keberagaman gender, senioritas, dan mata kuliah yang diampu. Sedangkan responden mahasiswa dipilih berdasarkan jenjang semester akhir (V dan VII). Ketiga, semi-stuctured interview dilakukan terhadap 119 dosen dan dilakukan terhadap 129 mahasiswa. Terakhir, observasi dilakukan di kelas dan kegiatan-kegiatan keagamaan di lingkungan kampus. (Husni Sahal/Abdullah Alawi)