Jakarta, NU Online
Menggandeng Twitter Indonesia, The Wahid Institute menggelar workshop Tweet For Peace bertajuk ‘Empowering Our Youth To Stand For Peace’. Kegiatan yang melibatkan puluhan aktivis media ini dilaksanakan di Hotel Harris Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (10/2/2016).
Kegiatan ini dilakukan untuk mengampanyekan informasi dan pesan damai di media sosial khususnya Twitter. Hal ini dikarenakan paham-paham radikal begitu masif menggunakan fasilitas media sosial untuk menyebarkan kebencian, intoleransi, dan radikalisme.
“Radikalisme di media sosial semakin hari semakin menguat. Hal ini seiring dengan upaya yang mereka lakukan secara masif dengan menyuguhkan konten-konten radikal dan intoleran,” ujar Direktur The Wahid Institute, Yenny Wahid dalam sambutannya.
Yenny tidak memungkiri bahwa selama ini kelompok-kelompok radikalah yang memanfaatkan media sosial untuk tujuan mereka. Sebab itu, menurut Putri Kedua Gus Dur ini, senjata mereka bukan hanya pistol, bedil, dan senjata berat lain, tetapi juga perangkat-perangkat yang ada di media sosial.
“Saat ini, bahkan narsisisme dan selfie justru digunakan sebagai senjata oleh mereka untuk menyebarkan aksi radikalisme dan terorisme,” jelasnya.
Ibu tiga anak ini melanjutkan bahwa akar terorisme tumbuh berawal dari gerakan intoleransi agama yang berkembang menjadi sikap radikal kemudian bertransformasi menjadi tindakan terorisme. Gerakan radikal, lanjutnya, selama ini masif menyasar para perempuan-perempuan hijabi.
“Karena para perempuan ini lebih berkesan kepada para pejuang yang disebutnya sebagai ‘Singa Allah’ yang akhirnya membuat mereka juga banyak yang terjurumus ke aksi yang cenderung ke terorisme,” papar Yenny.
Yenny menegaskan, media sosial sebagai platform berbasis interaksi di dunia maya jangan sampai didominasi oleh pesan-pesan intoleran dari orang-orang yang anti terhadap keberagaman, tradisi, budaya, nasionalisme, dan peradaban.
“Kalau kita diam dan membiarkan, dunia ini makin lama semakin tidak menyenangkan untuk ditempati karena agama Islam sebagai sebuah keyakinan cenderung dicitrakan dengan kesan, suka perang, angkat senjata, bom, dan tindakan-tindakan anarkis lain. Sudah saatnya media didominasi dengan pesan cinta bukan pesan kebencianm,” tandasnya.
Kegiatan workhsop ini juga dinarasumberi oleh pihak Twitter Indonesia, Roy Simangonsung dan Dwi Adriansah, Alissa Wahid, Savic Ali, Wicaksono, serta narasumber lain. Tak kurang dari 30 aktivis media hadir untuk berpartisipasi dalam kampanye damai di twitter dengan memahami platform twitter secara lebih mendalam. (Fathoni)