Nasional

Kriteria Vaksin Covid-19 Layak Suntik Menurut Kiai Afifuddin Muhajir

Sel, 23 Maret 2021 | 02:00 WIB

Kriteria Vaksin Covid-19 Layak Suntik Menurut Kiai Afifuddin Muhajir

Rais Syuriyah PBNU KH Afifuddin Muhajir. (Foto: Dok. NU Online)

Situbondo, NU Online
Dalam waktu dekat, para kiai dan ustadz pesantren yang berdomisili di Jawa Timur akan menerima vaksin AstraZeneca dari pemerintah. Karena itu, salah satu stasiun televisi swasta meminta KH Afifuddin Muhajir sebagai salah seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat ini untuk berbicara masalah legalitas hukum Islam terkait vaksin tersebut, Senin (22/3) malam.


Dalam kesempatan itu, Kiai Afif menyampaikan maksud dari term halalan dan thayyiban dalam konteks vaksin. Mengingat, dua istilah ini adalah yang paling akrab bersanding dengan kata vaksin akhir-akhir ini. Baik di berbagai media daring, cetak, ataupun televisi.


“Itu kan konsep Al-Qur’an. Al-Qur’an mengatakan, wa yuhillu lakum at-thayyibat. Allah Ta’ala hanya menghalalkan makanan-makanan, obat-obatan yang thayyib. Halal artinya tidak haram, dan thayyib itu artinya sesuatu yang bukan hanya halal, tetapi di atasnya halal, katakanlah bergizi,” jelas kiai kelahiran Sampang, Madura ini.


Vaksin AstraZeneca yang sempat menuai perdebatan di kalangan ulama, terutama di Indonesia, akhirnya akan menyasar para santri, kiai, ustadz, dan lain-lain. Sebenarnya, selisih pendapat para ulama tentang vaksin ini terletak pada penentuan status kesucian dan kenajisan vaksin tersebut. Satu golongan mengatakan suci, sementara yang lain berpendapat najis.


Kendati demikian, mereka sepakat bahwa vaksin ini halal digunakan. Golongan pertama beralasan bahwa kehalalannya karena kesuciannya. Berbeda dengan golongan kedua yang mendasarkan kehalalan vaksin tersebut karena kondisi emergensi yang membuat masyarakat harus divaksin.


“Memang ada dua pendekatan. Pertama, mengatakan ini boleh digunakan karena suci. Tapi ada pendapat yang lain mengatakan, boleh saja ini digunakan meskipun dikategorikan najis karena dalam keadaan emergensi. Jadi, ujung-ujungnya boleh,” tutur Rais Syuriyah PBNU ini.


Lebih spesifik lagi, lanjut Kiai Afif, mengenai kriteria vaksin Covid-19 yang layak disuntikkan berdasarkan aturan agama, yaitu suci, aman terhadap kesehatan, dan bermanfaat untuk mencegah penularan virus Corona. Jadi, tiga hal ini merupakan kriteria layak pakai bagi vaksin AstraZeneca.


Tentunya, ranah para ulama adalah mengijtihadi status suci dan tidaknya. Sementara penentuan apakah aman atau tidak untuk kesehatan, dan fungsinya yang aktif mencegah penularan virus Corona di luar kapasitas dan kapabilitas kiai. Melainkan ranahnya ahli kesehatan.


“Memang ada beberapa kriteria vaksin ini bisa digunakan. Pertama, suci. Kedua, aman. Ketiga, bermanfaat. Persoalan aman dan bermanfaat itu bukan bagian kiai. Tetapi, bagiannya ahli kesehatan. Apakah ini aman dan efektif atau tidak, saya sendiri kurang tahu. Saya hanya mengurusi suci dan tidak sucinya,” tegas Kiai Afif.


Terkait beberapa masyarakat yang masih enggan menerima vaksin AstraZeneca, menurut kiai Afif, semua itu dilatarbelakangi oleh pendekatan kedua, yaitu kebolehan menggunakan vaksin dengan alasan darurat. Sebab, ada masyarakat yang enggan disuntik vaksin hanya karena kebolehannya tidak mutlak, melainkan ada embel-embel emergency di belakangnya.


Dalam rangka meyakinkan masyarakat, pakar Fiqh-Ushul Fiqh ini mengungkapkan keberpihakan ilmiahnya terhadap pendapat yang mengatakan bahwa vaksin itu suci secara mutlak. Mengingat, teori yang digunakan adalah teori istihalah, yaitu upaya memindah status sesuatu dari najis menjadi suci. Teori ini sudah sejak lama digunakan oleh para ulama klasik.


Kontributor: Ahmad Dirgahayu Hidayat
Editor: Musthofa Asrori