Nasional

Kisah Sayyidina Umar Utus Ali bin Abi Thalib Penuhi Undangan Gereja

Sel, 11 Mei 2021 | 00:00 WIB

Jakarta, NU Online
Belakangan ini, kembali beredar soal dibolehkan atau tidaknya seorang Muslim ke dalam gereja atau rumah ibadah agama lain. Hal tersebut memantik perdebatan banyak kalangan. Sebagian mengatakan boleh, tetapi sebagian yang lain menghukumi haram.

 

Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI NU) Australia-New Zealand KH Nadirsyah Hosen atau Gus Nadir memaparkan kisah menarik tentang  Sayyidina Umar bin Khattab yang mengutus Sayyidina Ali bin Abi Thalib untun memenuhi undangan gereja.

 

Kisah tersebut dikutip Gus Nadir dari Kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, dalam juz 7, halaman 283. Dikisahkan oleh ‘Aidz, ketika Umar bin Khattab memasuki wilayah Syam dan keberadaannya diketahui oleh Kaum Nasrani negeri itu, mereka berinisiatif menyambut Umar dengan menyajikan makanan. Namun, jamuan makan itu disajikan di dalam gereja mereka. 

 

Lalu, Umar menolak hadir dan memerintahkan Ali untuk menggantikannya. Sejurus kemudian, datanglah Ali ke undangan untuk masuk ke dalam gereja dan menyantap hidangan yang telah disediakan. Pada kesempatan itu, Ali berkata bahwa dirinya tidak tahu alasan Umar menolak datang untuk memenuhi undangan gereja.

 

"Kata Ibnu Qudamah, ini bukti kesepakatan mereka para sahabat bahwa memasuki gereja atau sinagog tidaklah haram. Nah, mungkin ada yang bertanya, mengapa Umar menolak datang? Kalau haram, mengapa Umar mengutus Ali?" tutur Gus Nadir.

 

Dikatakan, salah satu alasan Umar tidak mau masuk dan menghadiri jamuan di gereja itu karena khawatir umat Islam akan memahami bahwa merebut gereja dan mengubahnya menjadi masjid, diperbolehkan. 

 

"Ini juga yang dilakukan Umar saat menolak masuk ke gereja di Palestina. Umar menghindari kerusakan dan kekerasan. Namun, jelas bahwa Imam Ali dan para sahabat memasuki gereja dan menghadiri jamuan di dalamnya," tutur Gus Nadir. 

 

Pendapat ulama 4 mazhab 

Terdapat silang pendapat di kalangan ulama empat mazhab terkait hukum seorang Muslim memasuki gereja atau rumah ibadah agama lain.

 

Ulama di lingkungan mazhab Hanafi misalnya, menyatakan bahwa hukum memasuki tempat ibadah non-Muslim adalah makruh. Hal itu sebagaimana yang ditulis oleh Syekh Ibnu Abidin dalam kitab Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar, juz 1 halaman 380. Dikatakan bahwa yukrahu lil Muslim addukhulu fil bii’ati wal kanisah (makruh bagi seorang Muslim yang memasuki sinagog dan gereja).

 

Senada, Syekh Ibnu Nujaim Al-Mishry dalam kitab Al-Bahrur Ra’iq Syarh Kanzud Daqaiq juz 8 halaman 374. Kalimat awalnya sama seperti Syekh Ibnu Abidin, tetapi terdapat tambahan redaksi di belakangnya. Redaksi itu adalah wa adzh-dzhahiru annahaa tahrimiyyatun (tampaknya masuk gereja dan sinagog adalah makruh yang mendekati haram).

 

Namun begitu, mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Hanbali, dan sebagian ulama mazhab Syafi’i menyatakan bahwa seorang Muslim boleh memasuki tempat ibadah non-Muslim. Hal ini dituturkan oleh ulama bermazhab Maliki, Syekh Abdus Sami’ Al-Abi Al-Azhari.

 

"Yaitu tempat ibadah istrinya baik berupa gereja atau sinagog, suaminya yang Muslim boleh memasukinya (tempat ibadah istri) bersama istrinya," demikian kata Syekh Abdus Sami’ dalam Jawahirul Iklil, juz 1 halaman 383. 

 

Lalu ulama bermazhab Hanbali, Syekh Ibnu Qudamah menyatakan kebolehan memasuki tempat ibadah agama lain. Bahkan, dalam kitab Al-Mughni juz 2 halaman 478, ia memperbolehkan seorang Muslim melaksanakan shalat di gereja yang bersih. 

 

Dijelaskan bahwa Al-Hasan, Umar bin Abdul Azis, Sya’bi, Awza’i dan Sa’id bin Abdul Azis, serta riwayat dari Umar bin Khattab dan Abu Musa, mengatakan tidak menjadi soal shalat di dalam gereja yang bersih. Namun Ibn Abbas dan Malik memakruhkannya karena ada gambar di dalam gereja.

 

Namun menurutnya, Nabi Muhammad pernah shalat di dalam Ka'bah dan di dalamnya ada gambar. Hal ini pun sebagaimana sabda Nabi Muhammad bahwa apabila waktu shalat telah tiba, kerjakan shalat di mana pun, karena di mana pun bumi Allah adalah masjid. 

 

Terakhir, sebagian ulama mazhab Syafi’i berpendapat, seorang Muslim tidak boleh memasuki tempat ibadah non-Muslim kecuali jika sudah mendapat izin. Hal ini sebagaimana yang ditulis Syekh Muhammad bin Khatib AsSyarbini dalam Mughnil Muhtaj juz 4 halaman 337. 

 

"Seorang Muslim tidak diperkenankan memasuki gereja-gereja Ahli Dzimmah kecuali atas izin mereka. Artinya, hal itu diperbolehkan manakala ada izin. Namun kebolehan melakukan hal itu, hanya jika di dalam gereja tersebut tidak terdapat gambar," demikian pendapat Syekh Muhammad As-Syarbini. 

 

Begitu pula Syekh Al-Qalyubi yang menulis dalam Hasyiyatal Qalyubi wa Umairah juz 4 halaman 492. Ia menegaskan bahwa umat Islam tidak diperbolehkan memasuki gereja kecuali atas izin mereka, sedangkan jika di dalam gereja itu terdapat gambar maka memasukinya dihukumi haram secara mutlak. Begitu pula, haram memasuki setiap rumah yang ada gambarnya.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan