Nasional

Keterlibatan Kampus dan Budaya Lokal Mampu Cegah Terorisme

Rab, 29 Juli 2020 | 08:45 WIB

Jakarta, NU Online

Keberhasilan menanggulangi kasus terorisme dan radikalisme kekerasan tidak hanya bergantung pada pemerintah. Upaya ini mensyaratkan keterlibatan stakeholder (pemangku kebijakan) lain seperti instansi pendidikan terutama di level perguruan tinggi. Oleh karena itu, keterlibatan perguruan tinggi sangat penting termasuk dalam mengantisipasi lahirnya ideologi yang bisa menyuburkan aksi kekerasan tersebut.

 

Menurut Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Aksi Terorisme, Hamli, sejak puluhan tahun lalu terjadi penetrasi kelompok radikal ke dalam kampus yang kelak melahirkan pelaku teror dari lingkungan institusi pendidikan ini.


“Data yang ada, beberapa pelaku tindakan radikalisme dan terorisme banyak yang berasal dari alumni perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Kelompok radikalisme sudah masuk kampus sejak 30 tahun silam dan sebagian di antaranya berujung pada aksi terorisme. Sedangkan upaya pencegahan lewat dunia kampus baru masif 4 tahun terakhir," jelas Hamli Selasa (28/7).


Maka menurutnya, diperlukan skill (kemampuan) dan skema yang sistematis dalam menangkal ajaran ini di dalam kampus. Di antaranya adalah dengan meningkatkan kemampuan deteksi dini terhadap penyebaran ajaran dan juga meningkatkan imunitas komunitas kampus pada virus radikalisme kekerasan.


“Edukasi terkait pemahaman radikalisme harus terus diintensifkan kepada seluruh elemen masyarakat untuk meningkatkan daya tangkal dan deteksi dini agar tidak berkembang di tengah masyarakat. Dunia pendidikan khususnya PTN maupun PTS harus terlibat aktif dalam upaya menangkal dan menghambat penyebaran paham radikal terorisme,” ungkap jendral bintang dua ini.


Kearifan lokal

Ia merinci, beberapa alternatif upaya pencegahan paham radikalisme bisa dilakukan dengan pendekatan kearifan lokal. Menurutnya, kearifan lokal dapat menjadi penawar dari ajakan radikalisme kekerasan. Sebab kearifan lokal pada dasarnya mengajak seseorang untuk mencintai nilai budayanya sendiri. Sementara radikalisme kekerasan pada akhirnya berupaya merusak kearifan lokal untuk diganti dengan ideologi transnasional.


“Kearifan lokal diketahui memiliki kemampuan tertinggi dalam upaya penangkalan masyarakat atas radikalisme” katanya.


Apa yang dikatakan Hamli sejalan dengan hasil penelitian yang dikerjakan oleh Suciati and Azizah Maulina Erzad yang berjudul The Existence of Kudus Islamic Local Culture to Prevent Radicalism in Globalization Era dalam Jurnal Qijis, Volume 6, Issue 1, Februari tahun 2018 lalu.


Penelitian ini dilakukan dalam rangka melihat bagaimana kebudayaan lokal dapat menjadi benteng dari radikalisme di Kudus Jawa Tengah. Penelitian ini juga dilakukan melalui metode kualitatif dengan meneliti sejumlah literatur, baik dalam bentuk cetak maupun online.


Penelitian itu menunjukkan beberapa hasil antara lain, Kudus merupakan kawasan yang memegang erat kebudayaan Islam lokal seperti Dandangan, Kupatan, Syawalan, dan lain sebagainya. Lalu, ajaran yang diajarkan Sunan Kudus di zaman dulu dikatakan akan membantu menjadi benteng pertahanan ajaran radikalisme.


Pewarta: Ahmad Rozali
Editor: Muhammad Faizin