Nasional

Islam Nusantara Wacana Akademis, Bukan Isu Politik

Sen, 21 Juni 2021 | 02:45 WIB

Islam Nusantara Wacana Akademis, Bukan Isu Politik

Ilustrasi Islam Nusantara. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Wacana Islam Nusantara bergulir seolah menjadi isu politik. Padahal sebenarnya Islam Nusantara merupakan wacana akademis. Era Reformasi yang membuka ruang kebebasan berbicara menggiringnya ke arah politik.

 

Hal ini diungkapkan Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama RI, Suyitno saat Diskusi Islam Nusantara Perspektif Filosofis-Historis Kritis. Diskusi ini digelar Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) bekerja sama dengan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama, Ahad (20/6).

 

Suyitno menjelaskan bahwa Islam Nusantara harus dilihat dari sejarah masuknya Islam di Indonesia. Islam yang masuk ke Nusantara ini memberikan ruang bagi lokalitas. "Kearifan lokal tidak terpisahkan dari Islam," katanya.

 

Ia mencontohkan halal bi halal sebagai sebuah silaturahim pada momen lebaran. Hal demikian, menurutnya, memperkaya Islam itu sendiri dan tidak bertentangan dengan agama Islam.

 

"Panggung akademik ini harus muncul di tengah isu sebagian besar kita mengarah pada isu politik," ujar Guru Besar UIN Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan itu.

 

Sementara itu, Kasubdit Penelitian, Publikasi Ilmiah, dan Pengabdian kepada Masyarakat Suwendi melihat Islam Nusantara sebagai suatu komitmen kebangsaan Nahdliyin. "NU membangun komitmen kebangsaaannya, di antaranya dengan Islam Nusantara," katanya.

 

Di Muktamar Ke-33 Tahun 2015 di Jombang, Jawa Timur, NU mendeklarasikan Islam Nusantara sebagai suatu paradigma penting. Namun, ia menyebut 'landingnya' masih belum sempurna sehingga dihadapkan dengan isu relevan. 

 

"Isu Islam Nusantara dijadikan isu politik yang tidak mencerminkan ikhtiar NU," katanya.

 

Oleh karena itu, Suwendi memandang diskusi Islam Nusantara ini penting di tengah Indonesia yang kini defisit komitmen kebangsaan dan menghadapkanya dengan agama. Bahkan ada yang menjadikan agama sebagai justifikasi kekerasan.

 

"Indonesia yang sangat plural menjadikan masyarakat demikian beragam dan beragama kuat, dihadapkan kekerasan atas nama agama membuat komitmen kebangsaan semakin rapuh," katanya.

 

Diskusi ini menghadirkan Dekan Fakultas Islam Nusantara Unusia Ahmad Suaedy, Pengajar Fakultas Islam Nusantara Unusia KH Ulil Abshar Abdalla, dan Pengajar Universitas Sanata Dharma St Sunardi.

 

Pewarta: Syakir NF
Editor: Aiz Luthfi
Â