Nasional

Islam Nusantara sebagai Norma dan Alat Analisis

Sen, 21 Juni 2021 | 08:00 WIB

Islam Nusantara sebagai Norma dan Alat Analisis

Ulil Abshar Abdallah. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Islam Nusantara terus bergulir menjadi wacana yang dibahas berbagai kalangan dengan beragam perspektif. Pengajar Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) KH Ulil Abshar Abdalla melihat wacana ini dapat dilihat menjadi dua, yakni sebagai norma dan alat analisis.


Hal itu disampaikan saat Diskusi Islam Nusantara Perspektif Filosofis-Historis Kritis pada Ahad (20/6). Diskusi ini digelar oleh Fakultas Islam Nusantara Unusia dan Direktorat Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Kemmenterian Agama RI.


Islam Nusantara sebagai satu norma yang digagas NU, menurutnya, bagian dari pertarungan wacana. Hal ini dimunculkan sebagai respons atas berbagai keadaan yang terjadi. “Islam Nusanatara bersaing dengan wacana Islam yang lain untuk memperebutkan pengaruh di publik,” katanya.


Islam Nusantara juga muncul karena selama ini praktik Islam yang berkembang di Nusantara, terutama Indonesia, dianggap lebih rendah. Sampai sekarang ini, Islam Nusantara sedikit dijumpai pusat studinya di negara-negara Timur Tengah. Padahal, jumlah umat Islam Indonesia besar dan perannya penting, tetapi tidak diperhatikan.


“Kita punya perhatian besar Timur Tengah, tetapi Timur Tengah tidak pernah memperhitungkan dengan sungguh-sungguh terhadap keberadaan Islam di sini,” kata kiai asal Cebolek, Pati, Jawa Tengah itu.


Negara dan sarjana Arab sendiri, lanjutnya, tidak menganggap Islam yang dipraktikkan di kawasan Melayu dan Indonesia layak dikaji. Islam yang berkembang di kawasan Indonesia dianggap lebih bawah. Karena itu, ketika wacana Islam Nusantara muncul, itu cara menegaskan sebagai subjek otonom, agen untuk mendefinisikan keislamannya sendiri.


“Secara ideologis, penting. Dan juga di dalam konteks membangun definisi Islam penting berhadapan dengan model Islam yang berasal dari negeri lain. Bukan berarti menegasikan, menolak Islam dari negara lain, tetapi ini loh ada,” kata pengampu Ngaji Ihya Online itu.


Islam Nusantara, lanjutnya, tidak hanya berhenti sebagai norma, tetapi juga harus dipikirkan secara berbeda. Ia menyebutnya sebagai alat analisis. Hal ini tidak bisa disamakan dengan Islam Nusantara sebagai norma. Orang pasti mempertanyakan kemampuan Islam Nusantara digunakan dalam kajian lebih akademis. “Saya yakin bisa,” ujar Gus Ulil, sapaan akrabnya.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad