Opini

Mengadministrasikan Islam Nusantara ke Dalam Fungsi Legislasi DPRD

Sab, 7 September 2019 | 02:30 WIB

Mengadministrasikan Islam Nusantara ke Dalam Fungsi Legislasi DPRD

Pribumisasi Islam mesti responsif terhadap realitas dan perkembangan masyarakat. (Ilustrasi: NU Online)

Oleh Achmad Faiz MN Abdalla
 
Pemilihan Legislatif 2019 usai digelar. Sebanyak 50 anggota DPRD Kabupaten Gresik periode 2019-2024 terpilih dan telah dilantik tanggal 23 Agustus kemarin. Masyarakat tentu layak berharap, akan ada gebrakan baru untuk wujudkan perubahan.
 
Guna memenuhi harapan masyarakat itu, tentu dibutuhkan spirit baru. Bagaimana DPRD yang terbentuk ke depan benar-benar bekerja sesuai dengan harapan masyarakat. Karena sejatinya, DPRD dipilih untuk mewakili aspirasi masyarakat.
 
Salah satu spirit yang relevan itu, hemat saya, adalah spirit Islam Nusantara. Islam Nusantara yang mulai diperkenalkan sejak 2015 sebagai spirit keislaman moderat, menarik untuk dikembangkan atau diintrodusir dalam bidang pemerintahan. 
 
Bagi saya, Islam Nusantara bukan hanya konsep keislaman untuk menangkal radikalisme dan mengampanyekan Islam moderat keindonesiaan. Bila diambil subtansinya, Islam Nusantara sejatinya sebuah konsep bagaimana suatu ajaran tak membatasi diri sebagai teks-normatif, melainkan ia pun mampu beradaptasi dengan budaya dan kearifan lokal atau konteks sosiologisnya.  
 
Bahasa yang mudah, Islam Nusantara adalah pribumisasi Islam atau konsep Islam yang responsif terhadap realitas dan perkembangan masyarakat. Sehingga Islam tidak menjadi suatu ajaran yang kaku, hanya formalistik dan eksklusif.
 
Spirit itulah yang perlu dikembangkan di berbagai bidang masyarakat, tak terkecuali pemerintahan. Sebagai representasi rakyat, DPRD harus mampu menjadi lembaga yang mewajahkan aspirasi masyarakat dengan membuat produk-produk legislasi yang responsif dan menjawab persoalan di masyarakat. 
 
Bukan sebaliknya, justru membuat produk-produk legislasi yang kaku dan jauh dari harapan masyarakat, atau bahkan bertentangan dengan asprasi masyarakat. Kesenjangan antara produk legislasi dengan kehendak dan aspirasi masyarakat tersebut, tentu bertentangan dengan spirit yang diusung Islam Nusantara.
 
Untuk itu, dibutuhkan ruang dialogis secara intensif antara DPRD dengan masyarakat. Bagaimana euforia demokrasi tidak hanya terasa saat pemilihan. Justru, ruang dialogis antara DPRD dengan masyarakat lebih krusial terjalin saat pemerintahan berjalan. 
 
Karena itu, perlu digagas bagaimana ruang dialogis ini selalu terbangun dan berjalan efektif. Sehingga aspirasi masyarakat dengan kebijakan dan produk legislasi tak berjarak. Salah satunya, melalui pendirian “rumah aspirasi” di setiap kecamatan.
 
Rumah aspirasi itu tak hanya menjadi ruang bagi para anggota DPRD bisa menjalin komunikasi dengan masyarakat di dapilnya, tapi juga dapat menyosialisasikan perda-perda yang telah disahkan agar menjadi pengetahuan bagi masyarakat sekaligus sebagai upaya literasi hukum.
 
Upaya literasi hukum ini penting, mengingat sebagian besar pemilih saat ini didominasi kalangan milenial. Mereka merupakan generasi yang melek digital dan pengetahuan. Karena itu, rumah aspirasi ini juga dapat menjadi sarana edukasi politik bagi kaum muda.
 
Bila itu yang terjadi, anak-anak muda sebagai penerus bangsa akan tertanam rasa memiliki terhadap pemerintahannya. Mereka akan merasa terpanggil untuk terlibat. Dengan begitu, akan terbangun sinergitas antara DPRD dengan masyarakat, khususnya anak-anak muda. 
 
Sinergitas antara DPRD dengan masyarakat inilah, yang akan menjadikan DPRD benar-benar memiliki cita rasa masyarakat. Sehingga kesan bahwa DPRD merupakan lembaga kekuasaan resmi yang berjarak dengan rakyat, akan terhapus. 
 
Singkat kata, DPRD yang berwawasan Islam Nusantara adalah DPRD yang responsif dan reflektif dalam membuat produk legislasi. Ia tidak membatasi diri saat terpilih dan berjalan, melainkan sarat nuansa sosial. Keran-keran aspirasi harus dibuka selebar mungkin. 
 
Dengan demikian, DPRD akan benar-benar mampu mewajahkan kehendak masyarakat. Bukan sebaliknya, menjadi sebuah lembaga yang kaku, yang cenderung bertindak dan membuat produk legislasi yang tak melalui pembacaan realitas dan memiliki kepekaan sosial.
 
 
Penulis adalah Staf Ahli Ketua DPRD Kabupaten Gresik 2019-2024