Nasional

Ini Catatan Dua Sastro pada Peringatan Hari Musik Nasional

NU Online  ·  Ahad, 11 Maret 2018 | 03:00 WIB

Jakarta, NU Online
Hari Musik Nasional diperingati setiap 9 Maret. Dalam rangka menyemarakkan peristiwa tersebut, NU Online menemui dua maestro musik, yakni Sastro Adi dan Ngatawi al-Zastrouw.

Jumat (9/3) malam di ruang redaksi NU Online, Sastro Adi, Wakil Sekretaris Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) bercerita kerap kali pemain musik jazz memainkan ritme selaras saat itu juga secara spontanitas. Tentu mereka lakukan tanpa latihan bersama sebelumnya.

“Bahkan himmatul ‘aliyah (semangat tinggi) juga harus punya komitmen,” katanya.

Jika salah satu pemain tidak punya komitmen terhadap pemain lainnya, hal itu pasti tidak akan melahirkan kesatuan. “Bahkan bagaimana cita-citaku akan terkabul jika aku tidak menyelaraskan cita-citaku dengan alam sekitar,” ujar pria asal Banyuwangi itu mengiaskan permainan musik jazz tersebut dengan kehidupan.

Jika Sastro Adi mengambil contoh jenis jazz, Ngatawi al-Zastrouw menjelaskan simbolisasi kehidupan dengan musik tradisional.

Ditemui di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Matraman, Jakarta, Sabtu (10/3), ia runut menguraikan proses kelahiran manusia yang disimbolisasikan dengan lagu Maskumambang. “Kehidupan dimulai dari (lagu) Maskumambang, yaitu ketika bayi ada di dalam kandungan,” kata pria yang akrab disapa Mas Sastro itu.

Proses usai Maskumambang adalah mijil. Tembang ini mengisahkan proses kelahiran jabang bayi. Setelahnya, menurut Ketua Lesbumi 2004-2010 itu, kinanti, yakni perlunya penjagaan dari orang tua. Selanjutnya, sinom yang berarti anak muda.

Asmorondono menjadi proses selanjutnya. “Asmorondono itu ketika masa remaja, memadu kasih,” ujarnya. Setelah asmorondono baru gambuh, lanjut dosen Unusia asal Pati itu.

Gambuh itu proses menjalin pernikahan. Setelah proses tersebut, orang itu akan hidup bahagia dengan kehadiran anak, sakinah, mawaddah warahmah. “Nah itu disebut dandang gulo,” katanya.

Setelah menikmati kehidupan, orang harus bederma. Maka macapat selanjutnya adalah durmo. Kemudian, pangkur. “Pangkur itu artinya dia harus mulai uzlah, meninggalkan dunia,” katanya.

Usai pangkur, orang harus menuju megatruh. Artinya melepas ruh. Barulah tiba di puncaknya, yakni pucung. Proses terakhir ini adalah kematian yang hanya meninggalkan jasad belaka.

Setiap pattern (pola lagu yang telah disebutkan), itu menimbulkan suasana yang semestinya digambarkan sesuai proses kehidupannya. “Dandang gulo, misalnya, itu mesti suasana yang gembira, glamor,” katanya.

Menurutnya, lagu-lagu tersebut pada saatnya mudah menyentuh hati masyarakat Nusantara. Hal itu mengakibatkan mudahnya ajaran apapun yang disampaikan melalui lagu itu tertanam dan merasuk ke kalbu. (Syakirnf/Ibnu Nawawi)