Nasional

Hati-hati dalam Belajar dan Mengajarkan Ilmu Agama

NU Online  ·  Selasa, 3 Mei 2016 | 21:02 WIB

Pringsewu, NU Online
Salah satu cara Allah mencabut ilmu didunia ini adalah dengan cara mewafatkan para Ulama. Saat orang berilmu mulai langka, maka manusia menjadikan orang bodoh sebagai pemimpin yang bila mereka ditanya tentang permasalahan Agama, maka mereka menjawab pertanyaan tersebut dengan tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan orang lain.

Menurut KH Ahmad Ishomuddin atau yang akrab dipanggil dengan Gus Ishom, Ulama atau ahli Ilmu sebagai pewaris ilmu dari para Nabi jelaslah manusia pilihan Allah yang memiliki sejumlah keutamaan dan derajat yang tinggi melebihi kaum beriman pada umumnya. 

"Karena rasa takutnya kepada Allah, maka ulama tidak kenal lelah untuk mengamalkan, mengajarkan ilmunya dan membimbing umat manusia agar meraih kebaikan duniawi dan ukhrawi dengan keteladanan, kebijaksanaan, lemah lembut dan mengedepankan rasa kasih sayang," ungkap Rais Syuriyah PBNU ini, Selasa (3/5) yang ditulis dalam akun facebooknya.

Oleh karena itu menurutnya adalah wajar jika para malaikat, penduduk langit dan bumi hingga semut-semut di liangnya serta ikan-ikan di lautan memintakan ampunan Allah untuk para ulama. Hanya orang yang angkuh dan tidak tahu kadar dirinya saja yang berani menodai kehormatan dan dengan tergesa-gesa menyalahkan ulama. Lebih-lebih apabila dirinya sudah mulai merasa pandai berceramah agama di hadapan orang-orang awam. 

“Seolah-olah keseluruhan ilmu agama yang demikian luas itu sudah tertampung di dalam dirinya, sehingga tanpa kecuali semua pertanyaan selalu ia berikan jawabannya dan semua masalah kehidupan ia berikan solusinya. Sungguh, semua itu sebenarnya dilakukan untuk kepentingan dirinya sendiri dan sekali-kali tidak untuk kepentingan agama," tegas kiai muda NU ini.

Oleh karenanya Gus Ishom mengimbau kepada seluruh umat Islam untuk berhati-hati dalam belajar agama. Sebab saat ini menurutnya banyak penceramah yang tidak jelas mengambil ilmu agama entah dari siapa, yang dengan sembarangan mengutip dalil berupa teks ayat al-Quran dan atau hadits Nabi secara tidak utuh, tanpa memahami konteksnya, bahkan hingga menafsirkan semaunya sendiri, tanpa merujuk kepada kitab-kitab tafsir karya ulama terdahulu. 

"Kesimpulan yang keliru dalam memaknai maksud ayat dan hadits Nabi dan tidak menerapkan sesuai dengan konteksnya yang tepat justru positif menimbulkan mafsadat, memunculkan kegaduhan demi kegaduhan dan bahkan membawa bencana bagi setiap hubungan kemanusiaan," jelas Kiai asal Pringsewu ini.

Akhirnya Ia berharap kepada siapa saja yang seandainya tidak mengetahui substansi tentang agama secara mendalam untuk diam saja dan tidak ikut menyampaikan pendapatnya. Sehingga apabila hal ini dapat dilakukan niscaya perselisihan tidak semakin merajalela. (Muhammad Faizin/Fathoni)