Nasional

Harapan PBNU pada 2021: Pemerintah Harus Pangkas Ketimpangan Sosial

Sel, 29 Desember 2020 | 10:15 WIB

Harapan PBNU pada 2021: Pemerintah Harus Pangkas Ketimpangan Sosial

Kantor PBNU Jakarta. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Tahun 2020 akan segera berakhir. Berbagai kondisi yang terjadi negeri ini seperti politik kebangsaan, keadilan ekonomi dan hukum, serta penanggulangan Covid-19 menjadi perhatian Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). 


Oleh karena itu, pada 2021 mendatang PBNU berharap kepada pemerintah agar dapat melaksanakan berbagai program yang telah dirancang dengan sangat baik dan secara konsisten. Terutama dalam rangka memangkas ketimpangan.


Hal itu disampaikan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj saat membacakan butir-butir refleksi akhir tahun dan tausiyah kebangsaan, di Kantor PBNU Jalan Kramat Raya 164 Jakarta, disiarkan langsung pula melalui Youtube 164 Channel, pada Selasa (29/12) siang.


Kiai Said menegaskan bahwa investasi yang kini sedang digalakkan pemerintah, jangan sampai memperlebar jurang ketimpangan sosial. Dengan demikian, kata Kiai Said, diperlukan upaya moderasi dalam bidang ekonomi. 


“Investasi yang digalakkan tidak boleh memperlebar jurang ketimpangan. Moderasi dalam bidang ekonomi harus menjadi perhatian pemerintah. Bukan hanya moderasi dalam beragama saja, moderasi dalam ekonomi juga sangat penting,” tegas Kiai Said, membacakan refleksi dan tausiyah kebangsaan yang ditandatangani langsung oleh dirinya beserta Sekretaris Jenderal PBNU H Ahmad Helmy Faishal Zaini.


PBNU memandang, watak pembangunan ekonomi masih sangat eksklusif dan cenderung tidak ada moderasi dalam bidang ekonomi. Sektor ekonomi dalam skala nasional masih hanya bisa dinikmati oleh beberapa orang dalam jumlah yang sangat sedikit.


Lebih jauh, Kiai Said mengatakan bahwa PBNU masih melihat orientasi pembangunan ekonomi belum dijalankan dalam bingkai untuk memajukan kesejahteraan umum. Terlebih soal menciptakan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia.


Data survei dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada 2019, menunjukkan bahwa satu persen orang Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Terdapat konglomerat di Indonesia yang menguasai lima setengah juta hektar tanah. 


“Bahkan merujuk data dari Oxfam, kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan harta 100 juta orang miskin,” ungkap Pengasuh Pesantren Luhur Al-Tsaqafah Ciganjur, Jakarta Selatan itu.


Merujuk pada berita resmi statistik Juli 2020, diungkap Kiai Said, tingkat Gini Ratio Indonesia berada pada angka 0,381. Angka ini meningkat 0,001 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2019 yang sebesar 0,380. Kemudian menurun 0,001 poin dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2019 yang sebesar 0,382.


“Salah satu faktor kenaikan itu dipengaruhi oleh pandemi Covid-19 yang membuat pendapatan seluruh masyarakat mengalami penurunan,” jelas Kiai Said.


Penyebab ketimpangan ekonomi di Indonesia


Dalam hal ini, PBNU melihat bahwa ketimpangan ekonomi di Indonesia terjadi karena tiga hal. Pertama, tradisi korupsi yang diwariskan pemerintahan orde baru hingga saat ini menjadi budaya.


“Kedua, pembangunan ekonomi masih berorientasi pada pertumbuhan, belum berorientasi pada pemerataan. Ketiga, adanya political capture (gambaran politik) yang kuat yakni orang-orang kaya dapat mempengaruhi kebijakan yang menguntungkan mereka,” kata Kiai Said. 


Ia lantas mengutip amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi, bumi dan air adalah kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


Namun, PBNU melihat belum adanya pengarusutamaan paradigma pemanfaatan sumberdaya alam Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Padahal, ujar Kiai Said, para pendiri bangsa mengajarkan sigma sumberdaya alam yang begitu luhur. Jika dibagi dengan jumlah penduduk maka tidak boleh ada satu pun rakyat miskin di Indonesia.


Karena itu, PBNU mendorong agar akses keadilan terus ditingkatkan. Terlebih akses keadilan ekonomi bagi masyarakat yang tidak memiliki kekuatan. “Melalui peran konstitusionalnya, negara (pemerintah) harus selalu hadir untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegas Kiai Said. 


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad