Nasional

Refleksi Akhir Tahun 2020, PBNU Soroti Kondisi Kebangsaan dan Penanggulangan Covid-19

Sel, 29 Desember 2020 | 09:15 WIB

Refleksi Akhir Tahun 2020, PBNU Soroti Kondisi Kebangsaan dan Penanggulangan Covid-19

Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj didampingi para pengurus saat menyampaikan refleksi akhir tahun 2020 dan harapan di tahun 2021, Selasa (29/12) di Kantor PBNU Jakarta. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyampaikan butir-butir refleksi dan tausiyah kebangsaan dalam rangka menutup lembaran 2020 serta menyongsong fajar 2021. Butir refleksi itu di antaranya adalah mengenai politik kebangsaan, keadilan sosial, keadilan dan hukum, serta penanggulangan Pandemi  Covid-19.


Refleksi dan taushiyah kebangsaan ini disampaikan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, di Kantor PBNU Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, pada Selasa (29/12) siang. Refleksi ini juga disampaikan secara virtual melalui Youtube 164 Channel.


Politik kebangsaan


Pada 2020 ini, Kiai Said mengatakan bahwa bangsa Indonesia masih menyaksikan sikap intoleransi yang masih merebak. Bahkan cenderung meningkat. Oleh karena itu, PBNU mengingatkan semua pihak agar kembali kepada jati diri bangsa.


“Jati diri yang menghargai kemajemukan, pluralitas serta heterogenitas yang dirumuskan dalam konsensus agung bernama Pancasila yang dibangun di atas bingkai Bhinneka Tunggal Ika,” tegas Kiai Said. 


PBNU memandang bahwa perbedaan harus menjadi energi untuk memproduksi kekuatan kolektif sebagai sebuah bangsa. Bukan justru dijadikan sebagai benih untuk menumbuhkan perpecahan.


“Kebinekaan harus menjadi kekuatan bangsa. Kebinekaan tidak boleh menjadi anasir destruktif yang berkontribusi bagi rusaknya persatuan dan kesatuan bangsa,” lanjutnya.


Di samping itu, PBNU juga mengingatkan bahwa demokrasi sebagai sistem untuk mewujudkan kesejahteraan publik berpotensi dibajak oleh gerakan apa pun. Baik gerakan fundamentalisme agama dan ideologi maupun fundamentalisme pasar.


Kiai Said menegaskan, kebebasan sebagai watak bagian demokrasi sudah memberikan panggung kepada kelompok radikal untuk mengeskpresikan pikiran dan gerakannya. Hal itu berpotensi merongrong NKRI melalui provokasi, permusuhan, dan juga terorisme.


Pada momentum revolusi 4.0 ini, iklim demokrasi salah satunya bertumpu pada digitalisasi. Ekspresi demokrasi dan politik diungkapkan melalui kanal-kanal media sosial. Dunia maya berkembang sangat pesat. Termasuk dalam konteks penyebaran isu politik, sosial-keagamaan, dan isu-isu lainnya.


Melihat kondisi itu, PBNU menilai perlu adanya upaya yang lebih ekstensif dan intensif dalam membangun narasi-narasi positif dalam wujud konten yang kreatif. “Sehingga penyebaran berita bohong, fitnah, polarisasi, radikalisme, yang selama ini teresonansi gerakannya melalui medsos dapat diatasi dengan baik,” ungkap kiai kelahiran Cirebon itu.


Keadilan sosial


Ditegaskan Kiai Said, PBNU masih melihat bahwa orientasi pembangunan ekonomi belum dijalankan dalam bingkai untuk memajukan kesejahteraan umum. Termasuk menciptakan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia.


PBNU memandang bahwa watak pembangunan ekonomi masih sangat eksklusif dan cenderung tidak ada moderasi dalam bidang ekonomi. Sektor ekonomi dalam skala nasional masih hanya bisa dinikmati oleh beberapa orang dalam jumlah yang sangat sedikit.


Kiai Said mengutip data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada 2019. Survei itu menunjukkan bahwa satu persen orang Indonesia menguasai 50 persen aset nasional.


“Terdapat konglomerat di  Indonesia yang menguasai lima setengah juta hektar. Bahkan merujuk data dari Oxfam, kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan harta 100 juta orang miskin,” ungkap Pengasuh Pesantren Luhur Al-Tsaqafah Ciganjur, Jakarta Selatan itu.


Merujuk pada berita resmi statistik Juli 2020, tingkat Gini Ratio Indonesia berada pada angka 0,381. Angka ini meningkat 0,001 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2019 yang sebesar 0,380. Kemudian menurun 0,001 poin dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2019 yang sebesar 0,382.


“Salah satu faktor kenaikan itu dipengaruhi oleh pandemi Covid-19 yang membuat pendapatan seluruh masyarakat mengalami penurunan,” jelas Kiai Said.


Dalam hal ini, tegas Kiai Said, PBNU melihat bahwa ketimpangan ekonomi di Indonesia terjadi karena tiga hal. Pertama, tradisi korupsi yang diwariskan pemerintahan orde baru hingga saat ini menjadi budaya.


“Kedua, pembangunan ekonomi masih berorientasi pada pertumbuhan, belum berorientasi pada pemerataan. Ketiga, adanya political capture (gambaran politik) yang kuat yakni orang-orang kaya dapat mempengaruhi kebijakan yang menguntungkan mereka,” kata Kiai Said. 


Ia lantas mengutip amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi, bumi dan air adalah kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


Namun, PBNU melihat belum adanya pengarusutamaan paradigma pemanfaatan SDA Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Padahal, ujar Kiai Said, para pendiri bangsa mengajarkan sigma SDA yang begitu luhur. Jika dibagi dengan jumlah penduduk maka tidak boleh ada satu pun rakyat miskin di Indonesia.


Karena itu, PBNU mendorong agar akses keadilan terus ditingkatkan. Terlebih akses keadilan ekonomi bagi masyarakat yang tidak memiliki kekuatan. Hal itu dapat dilakukan melalui peran konstitusional, yakni negara harus selalu hadir untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 


Keadilan dan hukum


Kiai Said menerangkan bahwa pada 2020, terdapat sejumlah produk perundang-undangan yang menimbulkan keagaduhan di ruang publik. Menurutnya, produk legislasi harus menjiwai semangat untuk menghadirkan supremasi keadilan.


“Gelombang penolakan terhadap UU yang dinilai kontroversial harus menjadi bahan renungan serius untuk memperbaiki tata legislasi serta komunikasi politik dan publik yang baik,” ujarnya. 


Karenanya, PBNU mendesak pihak-pihak terkait untuk mewujudkan peningkatan mutu regulasi yang dijiwai semangat menghadirkan keadilan. Sebab, keadilan adalah tujuan yang harus dicapai melalui penciptaan regulasi dan penegakan hukum yang jelas, tegas, dan transparan.


“Sehingga kegaduhan dan keriuhan yang menimbulkan gejolak dan friksi di masyarakat akibat ada tafsir yang liar bisa dihindari,” tegas Kiai Said. 


Kemudian untuk memperkuat argumentasi itu, Kiai Said mengutip surat An-Nisa ayat 58. Bahwa Allah telah memerintahkan untuk menyampaikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya. Allah juga memerintahkan agar ketika menetapkan hukum di antara manusia, harus menetapkannya dengan adil. 


Penanggulangan wabah


Dalam hal penanggulangan dan pengendalian wabah Covid-19, PBNU melihat masih lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah. Hal itu terlihat dari sejumlah keputusan terlihat tumpang tindih.


“Bahkan di beberapa kasus terlihat masih ada unsur politik yang melatarbelakangi kebijakan antarelemen pemerintah. Padahal keselamatan jiwa setiap penduduk merupakan prioritas di atas kepentingan politik apa pun,” tutur Kiai Said.


Kurva jumlah warga yang terpapar Covid-19 hingga saat ini masih terus meningkat. Oleh karena itu, PBNU mengajak semua komponen masyarakat untuk lebih meningkatkan kedisiplinan sebagai upaya bersama untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.


Terkait vaksin Covid-19, PBNU memberikan penghargaan setinggi-tingginya sekaligus mendukung pemerintah dalam upaya melakukan vaksinasi secara gratis kepada masyarakat. Hal ini menujukkan bahwa pemerintah memiliki komitmen yang tinggi dalam menjaga keamanan dan keselamatan nyawa warganya.


Pada kesempatan itu pula, atas nama PBNU, Kiai Said menyampaikan duka sedalam-dalamnya dan memohon kepada Allah agar menerima segala amal bakti yang telah diberikan seluruh pahlawan kesehatan Covid-19.


“Pahlawan korban Covoid-19 dari para dokter, paramedis, dan korban dari para ulama, pemangku pesantren, para kiai, dan pengurus NU. Juga kepada seluruh masyarakat yang telah meninggalkan dunia, mendahului kita semua akibat wabah ini,” katanya.


Harapan tahun 2021


Di tahun 2021, PBNU berharap pemerintah dapat melaksanakan berbagai program yang telah dirancang dengan sangat baik dan secara konsisten. Terutama dalam rangka memangkas ketimpangan. 


“Investasi yang digalakkan tidak boleh memperlebar jurang ketimpangan. Moderasi dalam bidang ekonomi harus menjadi perhatian pemerintah. Bukan hanya moderasi dalam beragama saja, moderasi dalam ekonomi juga sangat penting,” tegas Kiai Said.


“Semoga Indonesia selalu dijaga dan dipelihara oleh Allah dan menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,” pungkas Kiai Said, saat membacakan butir-butir refleksi yang ditandatangani oleh dirinya dan Sekretaris Jenderal PBNU H Ahmad Helmy Faishal Zaini.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad