Nasional

Gus Yahya soal Tantangan Pendidikan di NU: Antara Mengejar Keramat dan Tuntutan Zaman

Rab, 29 November 2023 | 17:00 WIB

Gus Yahya soal Tantangan Pendidikan di NU: Antara Mengejar Keramat dan Tuntutan Zaman

Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya. (Foto: dok. PBNU)

Jakarta, NU Online

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf bercerita, bahwa hampir ada 300-an perguruan tinggi di lingkungan NU. Sudah sejak lama ia berkeliling melihat satu-persatu. Ia pun mendapati satu hal yang mendasar dan belum mendapatkan suatu kesimpulan, yaitu perguruan tinggi-perguruan tinggi NU tersebut terus berkembang dan berkecambah sejak sekitar tahun 1980-an.


Hal itu disampaikan Gus Yahya, sapan akrabnya, saat memberi pidato sambutan sekaligus arahan dalam Simposium Nasional Digitalisasi Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (PTNU) yang digelar di Ancol, Jakarta Utara, Selasa (28/11/2023). 


Menurut Gus Yahya, ada satu masalah fundamental yang belum terselesaikan sampai hari ini, yaitu mengenai paradigma perguruan tinggi di lingkungan NU itu sendiri. Menurutnya, ada semacam kesadaran tentang jarak antara tradisi pendidikan dengan tuntutan yang muncul dari perkembangan zaman terkait dengan pendidikan tinggi. Titik temunya sampai sekarang belum bisa diidentifikasi, apalagi dirumuskan dengan baik. 


Karena secara tradisional, sambungnya, paradigma pendidikan di lingkungan NU dan pesantren dasarnya satu, yaitu keramat. “Jadi, pendidikan pesantren nomor satu yang penting keramat dulu, yang lain-lain nanti menyusul. Soal pengetahuan kognitif dan lain-lain itu nanti. Nanti akan mendapatkan landasan untuk berkembang, kalau keramatnya dapat,” ujar Gus Yahya. 


Lalu tiba-tiba di tengah perubahan zaman ada kebutuhan untuk mengembangkan macam-macam kapasitas knowledge dan pengetahuan kognitif yang begitu luas yang harus dikejar, sehingga kemudian kalangan NU juga berpikir bagaimana mengejar tuntutan penguasaan pengetahuan-pengetahuan kognitif secara lebih cepat dan progresif. 


“Cuma lalu kalau itu dikejar, ini keramatnya ikut apa tidak? Ini sampai sekarang belum ketemu. Karena mengembangkan sistem atau model pendidikan yang canggih seperti perguruan tinggi itu jelas-jelas berbiaya tinggi, sedangkan keramat itu dasarnya orang harus tirakat, harus kuat. Ini yang repot,” ujar Gus Yahya.


Lembaga pendidikan di lingkungan NU yang sudah menjadi canggih apakah keramatnya ikut atau tidak, menurut Gus Yahya, belum ketemu sampai sekarang. “Ada yang karena tidak mau melepaskan keramatnya itu sampai zuhud sedemikian rupa, sehingga 10-15 tahun mahasiswanya cuma 70 orang. Itu dibetah-betahkan saja. Itu ada. Mungkin karena ingin mempertahankan keramatnya itu,” terang Gus Yahya.


Menurut Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibien, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, itu, perlu dipikirkan dan bila perlu dipisah: ada yang bagian keramat, ada yang bagian canggih, agar tidak hilang dua-duanya.


“Karena kita kemudian juga berhadapan dengan tantangan perubahan-perubahan, yang juga menuntut perubahan-perubahan di dalam sistem pendidikan kita secara keseluruhan. Banyak hal yang dulunya menjadi praktik yang mapan, sekarang sudah tidak bisa, sudah tidak jalan lagi,” ucapnya.


Gus Yahya lalu mengungkap, bahwa dulu ada filsuf Amerika, Thomas Khun dari Universitas Chicago. ia menulis dan menerbitkan buku tahun 1962 berjudul The Structure of Scientific Revolution. Dalam buku itu ia menggambarkan bahwa sistem sains, sistem ilmu pengetahuan, di dalamnya terdapat satu struktur. Di bagian paling hilir dari struktur itu adalah teknologi. Sedangkan teknologi ini dibangun atas dasar teori-teori, yang pada satu titik, karena perubahan hajat hidup manusia, banyak teknologi yang lalu sudah tidak bisa dipakai lagi.


“Nanti pada satu tingkat yang lebih mendasar, kemudian teori itu sendiri tidak bisa jalan. Sekarang teori fisika Newton itu saja sudah mulai mentok-mentok, sehingga orang mencari landasan teori-teori baru,” ujar Gus Yahya. 


Tak hanya teori, lebih lanjut lagi, sampai paradigmanya pun bisa tidak jalan, sehingga orang harus membangun paradigma baru. “Ini semua saya kira harus menjadi landasan pemikiran kita para pemikir-pemikir pendidikan ini, tentang bagaimana kita membangun pendidikan di masa depan,” jelas Gus Yahya di depan para akademisi.


Hadir dalam kesempatan ini Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim, Wakil Menteri Agama Saiful Rahmat Dasuki, Wakil Ketua Umum PBB Prof Nizar Ali, Ketua PBNU Prof Muhammad Mukri, Wasekjen PBNU H Imron Hamid, Lembaga Perguruan Tinggi dan Ma’arif NU, badan otonom NU dan segenap tamu undangan.