Nasional

Gus Yahya Jelaskan 2 Kesenjangan dalam Dunia Pendidikan Islam

Sel, 4 April 2023 | 11:45 WIB

Gus Yahya Jelaskan 2 Kesenjangan dalam Dunia Pendidikan Islam

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf saat menyampaikan orasi ilmiah pada Konsinyering Project Management Unit yang diinisiasi oleh Kementerian Agama di Jakarta, Senin (3/4/2023). (Foto: tangkapan layar kanal Youtube Madrasah Reform)

Jakarta, NU Online  
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menyampaikan ada dua jenis kesenjangan yang terjadi di dalam pendidikan Islam, yaitu kesenjangan paradigmatik dan kesenjangan teknologi.

 

Hal itu disampaikan saat menghadiri Konsinyering Project Management Unit (PMU) bersama Provincial Coordinating Unit (PCU). Kegiatan tersebut diinisiasi Kementerian Agama dengan dukungan dari Bappenas dan Bank Dunia dengan target utama peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah. Kegiatan ini digelar di Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (3/4/2023).

 

"Ada dua jenis kesenjangan yang pertama adalah kesenjangan paradigmatik yakni kesenjangan terkait asumsi-asumsi dasar dari pendidikan itu sendiri,” kata kiai kelahiran 16 Februari 1966 itu.

 

“Dan yang kedua adalah kesenjangan teknologi yaitu kesenjangan terkait instrumen-instrumen yang dipergunakan di dalam praktek pendidikan mulai dari model-model organisasi model manajemen sampai dengan perawatan-perawatan teknis lainnya.” lanjutnya.

 

Lebih lanjut, Gus Yahya menjelaskan bahwa kesenjangan paradigmatik dalam pendidikan tak terlepas dari peradaban tradisi kultural Nusantara yang dipengaruhi oleh penetrasi pendidikan barat yang terjadi pada zaman penjajahan bangsa Eropa di Tanah air.

 

“Kesenjangan paradigmatik ini sangat kompleks, tapi ini kurang lebih bisa kita katakan merupakan akibat dari perubahan-perubahan berskala peradaban yang dialami oleh dunia akibat penetrasi Barat dan mau tidak mau juga menimpa komunitas-komunitas Muslim di Indonesia, seperti pembedaan perlakuan antara kaum priyai dan pribumi,” terangnya.

 

Gus Yahya juga menerangkan bahwa peradaban tradisional yang sudah terlanjur mapan tersebut berlanjut dalam penerapan kurikulum yang konteks dasarnya masih merujuk pada wawasan dari abad pertengahan.

 

“Semua itu membekas sedemikian rupa sehingga membuat kita gagap dalam menghadapi berbagai macam tuntutan masa kini karena bayang-bayang dari paradigma tradisional yang sudah begitu mapan,” katanya.

 

“Saya melihat di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam konten pendidikannya kurikulumnya bahan ajarnya itu masih bahan ajar dari abad pertengahan termasuk proses mengenai persepsi tentang kelompok-kelompok yang berbeda.” tambah Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu.

 

Gus Yahya berharap integrasi bangsa ini harus kita pikirkan tentang topik-topik yang relevan terhadap reformasi madrasah dalam menjawab fenomena masyarakat Indonesia yang heterogen.

 

“Saya berfikir bagaimana madrasah-madrasah ini bisa menerima murid dari agama lain, bagaimana caranya tapi yang jelas bahwa bangsa kita itu butuh satu strategi untuk memperkuat integrasi sosial dari masyarakat kita yang super heterogen ini harus kita pikirkan,” tambah Gus Yahya.

 

“Sejauh mana kita mau melakukan akulturasi dalam soal ini jika sekarang anak-anak kita sejak kecil sejak dini sudah kita pisah-pisahkan berdasarkan identitas yaitu kalau tua kok disuruh rukun itu ya susah wong dari anak-anak sudah enggak bisa kumpul,” pungkasnya.

 

Pewarta: Syakir NF
Editor: Aiz Luthfi