Nasional HUT KE-74 RI

Gus Muwafiq: Tiada Kemerdekaan Tanpa Kematian

Sel, 20 Agustus 2019 | 07:00 WIB

Jakarta, NU Online

Kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah berusia 74 tahun menjadi nilai penting yang patut disyukuri. Dulu, untuk meraih kembali Indonesia dari tangan penjajah dibutuhkan pengorbanan nyawa rakyat Indonesia.

 

Hal tersebut diungkapkan KH Ahmad Muwafiq saat mengisi Malam Tasyakuran Peringatan HUT ke-74 Kemerdekaan RI di Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah, Selasa (20/8) malam sebagaimana tayangan Youtube.

 

Menurut Gus Muwafiq, sapaan akrabnya, kemerdekaan Indonesia bukan didapat dari teori tetapi dengan pertumpahan darah. Dikatakannya, peristiwa 17 Agustus 1945 merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Kemerdekaan adalah identik dengan korban para pahlawan, sebab ratusan ribu nyawa rakyat Indonesia melayang untuk membebaskan diri dan bangsanya dari belenggu kolonialisme.

 

"Jadi kemerdekaan itu tidak bisa dinalar, orang tiba-tiba bisa berangkat perang mempertahankan NKRI. Tidak ada kemerdekaan tanpa kematian. Makanya 17 Agustus itu puncak kematian bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Artinya kemerdekaan bukan didapat dengan teori tapi dengan darah dan nyawa," urainya.

 

Kiai nyentrik asal Yogyakarta ini menilai proses kemerdekaan yang tertuang dalam sejarah tidak dapat dibayangkan, terutama atmosfer setelah Indonesia menyatakan diri merdeka. Banyak kejadian yang tidak masuk akal seperti peristiwa 10 Nopember 1945, Jendral Soedirman yang hanya memiliki 1 ginjal mampu memimpin pasukan perang membasmi ratusan ribu penjajah, dan sebagainya.

 

“Para pejuang terdahulu, lanjutnya, berbeda jauh dengan karakter bangsa Indonesia kini yang terkadang mudah mengeluh dan kerap menyalahkan pihak tertentu. Nilai peristiwa kemerdekaan tidak akan bisa dibayangkan karena sangat bertentangan dengan nalar bangsa Indonesia,” tukasnya.

 

Gus Muwafiq lalu mencontohkan adanya bendera merah putih. Katanya, jika dilihat dari objek suatu benda barang tersebut merupakan kain biasa yang memiliki harga terjangkau. Tapi ketika dijahit menjadi bendera, dengan posisi kain warna merah di atas dan kain warna putih di bawah, mampu menggerakan orang untuk mengorbankan nyawanya.

 

Ketika bendera itu dicampur kain warna biru (menjadi bendera Belanda), saat itu ratusan ribu nyawa siap berkorban untuk menyatukan merah putih. Ini tidak bias dinalar. Peristiwa 10 November itu karena merah putih. Jadi orang bisa menyerahkan nyawanya, mengorbankan dirinya hanya untuk merah putih itu.

 

“Sementara hari ini ada orang-orang yang yang suruh ngangkat tangannya aja nggak mau ya alasan musyrik lah, alasan bid'ah lah. Makanya kadang saya berfikir esktrim, bahwa orang-orang ini nggak punya darah pahlawan, darah yang mengalir dalam dirinya pasti bukan darah yang pernah mempertahankan merah putih," tutur Gus Muwafiq yang langsung disambut tepuk tangan ribuan jamaah.

 

Gus Muwafiq menegaskan, sejarah kemerdekaan bisa diceritakan, tahapan-tahapan kemerdekaan bisa dibeberkan, tokoh-tokohnya pun bisa digambarkan. Tetapi nilai-nilai yang ada dari peristiwa tersebut tidak bisa diceritakan karena kita tidak mengalami langsung peristiwa proses kemerdekaan.

 

Pewarta: Abdul Rahman Ahdori

Editor: Aryudi AR