Nasional

Gus Mus: Indahnya Hidup bagi Hamba yang Tahu Bersyukur

Sen, 5 April 2021 | 06:30 WIB

Gus Mus: Indahnya Hidup bagi Hamba yang Tahu Bersyukur

Gus Mus dan Pak Sumadi. (Foto: Facebook Gus Mus)

Jakarta, NU Online
Suatu pagi KH Musthafa Bisri (Gus Mus) jalan-jalan pagi sendiri. Setelah dirasa cukup, sambil arah pulang, beliau membelikan jajanan cilok, makanan tradisional sederhana Nusantara kesukaan anak dan cucunya. Karena pagi itu beliau pergi jalan sendiri, pulangnya beliau minta salah satu kawannya yang berprofesi sebagai tukang becak untuk menghantarkannya pulang.


Adalah Pak Sumadi, pria berumur 78 tahun, tukang becak yang selalu mangkal di depan Masjid Agung, yang menghantarkan Gus Mus pulang ke kediamannya. Dalam sehari, Pak Sumadi mendapatkan hasil sampai 50 ribu dari mengayuh becaknya. Menurut Pak Sumadi, pendapatannya itu cukup untuk hidup berdua dengan istrinya. Pak Sumadi pun sangat bersyukur pada Allah karena di umur yang sudah senja, ia masih mampu bekerja untuk menghidupi keluarga.


Guna menjaga stamina tubuh yang sudah tidak sekuat dulu, Pak Sumadi memanfaatkan waktu untuk istirahat di sela-sela menunggu para penumpang yang menggunakan jasa becaknya. Gus Mus pun menaruh perhatian pada prinsip hidup Pak Sumadi ini dan menuliskannya pada akun Facebook pribadinya.


“Hidup ini sungguh indah bagi hamba yang tahu bersyukur,” tulis Mustasyar PBNU ini, Senin (5/4)

 

Memahami lebih dalam tentang syukur


Syukur, adalah kata yang mudah diucapkan namun sangat berat untuk dipraktikkan. Pasalnya menurut ulama, syukur memiliki tiga tingkatan yang harus diwujudkan yakni syukur dengan perkataan (bil lisan), syukur dengan perbuatan (bil arkan) dan syukur dengan hati (bil qalb).


Sosok Pak Sumadi sudah mengajarkan pada kita untuk bersyukur pada tiga tataran ini. Ia terus mewujudkan syukurnya dengan tanpa keluh kesah dalam wujud selalu berusaha dengan hasil yang semua di serahkan kepada sang pemberi rizki, Allah SWT. Berapapun nominal yang didapatkannya, ia merasa cukup. Dari sikap ini, ketenangan hidup pun dirasakannya. Ketika seseorang tenang dan bersyukur dengan nikmat Allah maka dalam hatinya pun akan muncul syukur itu.


Sedari lahir, hakikatnya manusia sendiri sudah dikarunia berbagai macam nikmat yang jika mencoba untuk menghitungnya, manusia tak akan dapat melakukannya. Jelas ditegaskan dalam QS An-Nahl:18 yang artinya: “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.


Sehingga menjadi keniscayaan bagi setiap kita untuk senantiasa mensyukuri nikmat dari lahir ini dengan mempertahankannya. Siapa yang akan mengubah nasib baik yang sudah dianugerahkan ini menjadi nasib buruk? Jawabannya adalah kita sendiri. Hal ini sudah diingatkan oleh Allah dalam Al-Qur’an Surat Ar-Ra’du: 11 yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”.


Mengenai ayat ini Imam Ath-Thabari dalam tafsirnya menjelaskan bahwa pada dasarnya semua orang itu dalam kebaikan dan kenikmatan. Allah pun tidak akan mengubah kenikmatan-kenikmatan seseorang yang sudah didapatkannya dari lahir, kecuali mereka mengubah kenikmatan tersebut menjadi keburukan yang disebabkan perilakunya sendiri.


Untuk kita sadari, setiap manusia dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan suci dan tentunya mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan kenikmatan dari Allah. Namun perilaku manusia itu sendirilah yang dapat mengubah kenikmatan yang telah dianugerahkan Allah menjadi keburukan atau musibah. Faktor perubahan sebuah kenikmatan menjadi keburukan ini bisa berasal dari kesalahan manusia itu sendiri maupun akibat pengaruh orang lain.


Perlu kita sadari juga bahwa, nikmat yang dianugerahkan Allah kepada kita lebih banyak dari masalah dan musibah yang kita hadapi dan rasakan. Dengan syukur dalam berbagai kondisi apa pun, Allah sudah menjanjikan akan melipatgandakan nikmatnya.


Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." Ayat Al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 7 ini menjadi motivasi kita agar tidak kufur nikmat dan semakin yakin bahwa Allah sudah mengatur seluruh rezeki makhluk hidup di muka bumi ini.


Kehidupan tidak akan pernah lepas dari kebahagiaan dan kesedihan. Sebagai umat Islam yang yakin dengan kekuasaan Allah SWT sudah seharusnya senantiasa bersyukur saat mendapatkan kebahagiaan dan bersabar saat menghadapi kesedihan. Semoga kita bisa menjadi golongan orang-orang yang pandai bersyukur.


Kontributor: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan