Nasional

Gus Ghofur: Nilai Spiritual adalah Ruh Utama Organisasi NU

Sel, 12 Oktober 2021 | 07:00 WIB

Gus Ghofur: Nilai Spiritual adalah Ruh Utama Organisasi NU

KH Abdul Ghofur Maimoen atau Gus Ghofur. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Nahdlatul Ulama dilahirkan oleh sejumlah kiai kharismatik yang dipimpin oleh Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Aasy’ari pada 1926. Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Ghofur Maimoen (Gus Ghofur) menegaskan bahwa nilai-nilai spiritual menjadi ruh utama organisasi NU. 


“Semua mafhum bahwa (NU) ini adalah organisasinya para ulama. Nilai-nilai spiritual adalah ruh utama organisasi. Berbagai keputusannya banyak yang tidak saja didasari oleh nilai-niai rasionalitas, akan tetapi juga didasari oleh semacam ilham spiritual,” kata Gus Ghofur lewat facebook, Senin (11/10). 


Menurutnya, gerak langkah organisasi NU tidak pernah luput dari pertimbangan keagamaan dan spiritual. Masyarakat pun mengerti bahwa tunduk dan patuh kepada NU bukan semata bersifat organisatoris tetapi juga berdimensi spiritual.


“Sang Maha Guru, Syaikhona Khalil, pada tahun 1924 mengutus santrinya, KH As’ad Syamsul Arifin (di kemudian hari menjadi pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Situbond) untuk menyerahkan sebuah tongkat kepada Kiai Hasyim yang juga adalah santrinya. Tongkat ini adalah simbol tongkat Nabi Musa as,” terang Gus Ghofur.


Saat memberikan tongkat kepada Kiai Hasyim, Kiai As’ad membacakan QS Thaha ayat 17-21. Di ayat ini terjadi dialog antara Allah dan Nabi Musa mengenai tongkat yang menjadi senjata untuk melawan Fir’aun. 


“Apa yang ada di tangan kananmu itu, wahai Musa? (Musa) berkata, ia adalah tongkatku. Aku (dapat) bersandar padanya, merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan memiliki keperluan lain padanya. (Allah) berfirman, lemparkanlah (tongkat) itu, wahai Musa! Maka, dia (Musa) melemparkannya. Tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Dia (Allah) berfirman, ambillah dan jangan takut! Kami akan mengembalikannya pada keadaannya semula.”


Dikatakan Gus Ghofur bahwa dalam tradisi sufistik, tongkat Musa dimaknai sebagai simbol kepemimpinan spiritual. Dalam kitab tafsir Ruh Al-Bayan, Ismail Haqqi menerangkan, dalam tongkat terdapat isyarat bahwa para nabi adalah penggembala umat. Mereka, para nabi itu, harus menjaga umat dari serigala setan dan singa hawa nafsu. 


“Sebagian ahli makrifat menyampaikan, tongkat adalah gambaran mengenai nafs al muṭmainnah (atau) jiwa yang tenang yang dapat menghancurkan persepsi-persepsi salah (al mauhūmāt) dan khayalan-khayalan (al mutakhayyalāt),” jelas Gus Ghofur.


Ia melanjutkan bahwa pada akhir 1924, Syekh Kholil Bangkalan kembali mengutus santrinya, Kiai As’ad Syamsul Arifin untuk membawa tasbih dan meminta agar tasbih tersebut dikalungkan di leher. Tasbih dalam tradisi sufistik juga merupakan simbol spiritual, sama seperti tongkat.


Imam As-Sayūṭī, dalam bukunya Al-Minḥah fi As-Sabḥah, mengutip dari Ibn Khalikān dalam Wafiyyāt al-A’yān, bahwa suatu hari Abū Al-Qāsim Al-Junaid bin Muhammad terlihat membawa tasbih di tangannya. Lalu, disampaikan kepadanya, “Engkau dengan segala kemuliaanmu masih menggunakan tasbih di tanganmu?”


Lalu Imam As-Sayuti menjawab, “(Ini adalah) jalan yang mengantarkan diriku ‘wushul’ kepada Tuhanku. Saya tidak akan berpisah darinya.” Kemudian Imam As-Sayuti menyebut sanad musalsal tasbih yang sambung hingga Imam Hasan Al-Basri. 


Imam As-Sayuti mengatakan, “Ini adalah sesuatu yang kami gunakanan pada awal-awal (jalan). Kami tidak akan meninggalkannya di (jalan-jalan) penghujung. Saya menyukai zikir kepada Allah dengan hatiku, serta dalam tangan dan lisanku.”


Barangkali, kata Gus Ghofur, inilah salah satu yang melatarbelakangi banyak warga NU yang berharap bahwa NU harus dijaga sekuat tenaga. Terlebih, sebentar lagi NU punya pekerjaan besar yakni muktamar yang akan diselenggarakan di Lampung pada 23-25 Desember 2021.


Gus Ghofur menegaskan bahwa siapa pun yang kelak terpilih, sedikit-banyak secara simbolis akan mewarisi tongkat dan tasbih Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Para pemimpin NU mendatang, terutama di level syuriyah, harus dipilih dengan hati nurani yang paling dalam, serta melalui cara-cara yang menebarkan aura spiritualitas. 


“Begitu pula pimpinan tanfidziyahnya, karena sejatinya ia adalah pelaksana kebijakan lembaga syuriah, meskipun ia tidak sesakral syuriah,” terang Gus Ghofur, putra kelima almaghfurlah KH Maimoen Zubair itu.


Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah itu merasa mendapat kehormatan karena pada 3 Oktober lalu kedatangan Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar.


“Kampus ini didirikan oleh guru spiritual-intelektual Kami, KH Maimoen Zubair dengan cita-cita besar ingin menyelaraskan antara intelektualitas dan spiritualias. Karena itu, secara struktural di atas ketua ada majelis pengasuh,” katanya.


“Seperti disampaikan Kiai Luthfi Thomafi, alhamdulillah kami pernah kerawuhan KH Mustofa Bisri dan KH Ma’ruf Amin. Dua Rais Aam Nahdhatul Ulama pada eranya. Bagi kami, Rais Syuriah Nahdhatul Ulama adalah tokoh spiritual Bangsa Indonesia,” pungkas Gus Ghofur.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad