Nasional

Fenomena Arya Wedakarna, Politik Indonesia Masih Kental Rasisme dan Identitas

Jum, 5 Januari 2024 | 07:00 WIB

Fenomena Arya Wedakarna, Politik Indonesia Masih Kental Rasisme dan Identitas

Anggota DPD RI asal Bali, Arya Wedakarna. (Foto: instagram Arya Wedakarna)

Jakarta, NU Online

Senator atau Anggota DPD RI asal Bali, Arya Wedakarna dinilai menampilkan politik identitas berdasarkan suku, agama, ras (SARA) tertentu. Arya juga dianggap menunjukkan kebencian terhadap orang yang berbeda dengan identitasnya. Belakangan, dia menyatakan ketidaksetujuannya atas penampilan front line Bandara Ngurah Rai Bali yang berjilbab dengan alasan bukan Timur Tengah.


Menanggapi kasus tersebut, Akademisi Universitas Nasional (Unas) Andi Achdian menyebut, fenomena Arya sebagai wajah perpolitikan nasional yang berjalan di skup lokal. Sebab, menurut Andi, tindakan dan cara perlakuannya tidak jauh berbeda.


"Saya kira dalam sudut lebih luas, Arya replika kecil dari politik nasional Indonesia. Dia mengadopsi para politisi elite dalam skala nasional yang direplikasikan dalam tingkat lokal. Beda konten aja. Modus dan perilakunya sama," ujar Andi Achdian kepada NU Online, Kamis (4/12/2023).


Artinya, lanjut Achdian, hal tersebut menjadi problem masyarakat Indonesia kontemporer masa kini. Kasus itu merupakan cerminan mikro dalam hubungan masyarakat Indonesia hari ini. "Mewakili semangat zaman yang ada disorientasi prinsip bangsa negara," katanya.


Perlu reformasi kedua

Andi menegaskan, perlunya format baru politik yang lebih berorientasi pada keadilan, lingkungan, dan Hak Asasi Manusia (HAM). Hal tersebut, menurutnya, menjadi PR (pekerjaan rumah) berama masyarakat Indonesia.


Sebab, lanjut Sejarawan Unas ini, politik Indonesia sarat akan kekerasan, mulai era kolonial, Orde Lama dengan peristiwa 65, 70-an, 1998 di masa Orde Baru, hingga Ambon dan Aceh, serta Papua di era Reformasi.


"Kita dimanipulasi dengan sentimen primordial. Saya kira perlu reformasi jilid dua," ujar Ketua Jurusan Sosiologi Universitas Nasional itu.


Menurut Andi, transformasi politik yang gagal pada masa kini menghadirkan tatanan politik dengan isu identitas seperti itu. Karenanya, transformasi baru dalam kehidupan politik baru di Indonesia menjadi satu tawaran yang perlu untuk diwujudkan. Sebab, generasi muda Indonesia masih punya pandangan politik yang lebih beradab.


Hanya saja, kata dia, anak-anak muda belum punya alat, partai politik, dan orgniasasi politik. Orang muda yang cenderung menjadi apatis tidak berarti tidak mempunyai kesadaran. Sebab mereka realistis karena tidak ada sosok yang dapat mewakili mereka.


"Saya kira agenda membangun politik beradab, reformasi jilid dua, tugas kita bersama," kata penulis buku Ras, Kelas, Bangsa: Politik Pergerakan Antikolonial di Surabaya Abad ke-20 itu.


Andi juga menyebut, politik identitas ini dimunculkan politisi karena ketiadaan ide yang dimilikinya. Politik identitas menjadi isu murahan yang ditawarkan karena tidak perlu riset mendalam dan tidak berimplikasi pada program.


"Tidak punya ide yang struktural yang urgensinya kuat di kalangan generasi sekarang. Mereka mencari cara mudah untuk mengangkat isu agama, ras. Isu murah," ujarnya.


Pernyataan Arya Wedakarna yang mengandung sentimen negatif terhadap SARA itu berbuntut panjang. Sejumlah pihak melaporkannya ke polisi atas dugaan kebencian. Dia pun menuai hujatan di media sosial.