Nasional

Enam Rekomendasi LPBI PBNU Terkait Banjir di Pulau Jawa

Sab, 4 Januari 2020 | 10:15 WIB

Enam Rekomendasi LPBI PBNU Terkait Banjir di Pulau Jawa

Ketua LPBI PBNU, Muhamad Ali Yusuf (Foto: NU Online/Rahman)

Jakarta, NU Online

Bencana banjir yang melanda sebagian wilayah Indonesia terutama di Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten Rabu (1/1) lalu turut menjadi perhatian Pengurus Pusat Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

 

Ketua LPBI PBNU, Muhamad Ali Yusuf mengatakan, Nahdlatul Ulama melalui LPBI merekomendasikan 6 hal agar masalah-masalah banjir dapat diatasi. Pertama, penanggulangan bencana harus dilakukan oleh multi stakeholder. Artinya, penanggulangan bencana tidak dilakukan hanya oleh satu atau beberapa pihak saja. Sebab, persoalan bencana merupakan masalah yang multi dimensi sehingga seluruh pihak harus terlibat.

 

Kedua, penanggulangan banjir harus dilakukan berbasis kawasan atau landscape. Dengan model landscape tersebut antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta , Jawa Barat dan Banten termasuk kabupaten dan kota terkait dengan pemerintah pusat bisa saling terhubung kaitannya dengan penyelesaian masalah-masalah banjir.

 

“Apalagi ‘kan DKI Jakarta adalah Ibu Kota negara,” kata Muhamad Ali Yusuf kepada NU Online, Sabtu (4/1).

 

Ketiga, setiap pihak khususnya yang berada di kawasan Jabodetabek harus memiliki rencana pengurangan risiko bencana serta rencana adaptasi perubahan iklim yang terintegrasi. Semua itu penting dilakukan, agar upaya mitigasi dan kesiapsiagaan bencana dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.

 

Menurut Ali Yusuf, rencana pengurangan resiko dan rencana adaptasi perubahan iklim perlu untuk diterapkan. Dia meyakini langkah itu dapat mengurangi risiko banjir di seluruh titik rawan banjir.

 

“Keempat, public awareness harus semakin ditingkatkan. Semua itu dilakukan agar masyarakat benar-benar memahami dan menyadari bahwa mereka berada di daerah rawan bencana banjir dan tergugah untuk melakukan aksi pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim,” tuturnya.

 

Kelima, kesiapsiagaan masyarakat khususnya terkait ancaman bencana banjir harus menjadi prioritas pemerintah khususnya pemerintah di Jabodetabek. Karena prioritas, maka kesiapsiagaan bencana banjir dapat menjadi budaya di masyarakat, bahkan masyarakat tersebut benar-benar siap ketika banjir melanda lingkungannya.

 

Keenam, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten harus bersedia mengalokasikan dana yang memadai khusus untuk penanganan bencana banjir, termasuk didalamnya terdapat dana untuk kesiap siagaan bencana.

 

“Itu untuk pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim termasuk mitigasi dan kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat,” ujarnya menegaskan.

 

Selama ini, kata Ali Yusuf, penanggulangan bencana banjir di Jabodetabek didesain dan dijalankan sendiri oleh masing-masing pihak khususnya pemerintah di masing-masing daerah. Sehingga hasilnya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Itu dapat dibuktikan dari masih ditemukannya banjir di Pulau Jawa seperti Jabodetabek, Banten dan Jawa Barat.

 

“Padahal Jabodetabek adalah sebuah kawasan yang tidak dapat saling menafikan, satu sama lain harus memiliki rencana dan aksi yang mendukung satu sama lain pula. Misalnya banjir Jakarta tidak hanya disebabkan oleh situasi yang terjadi di Jakarta, tetapi juga berasal dari hulu Ciliwung yang berada di Bogor kemudian turun sampai hilir yang berada di Jakarta,” pungkasnya.

 

Kontributor: Abdul Rahman Ahdori

Editor: Aryudi AR