Nasional

Kecewa RUU TPKS Tertunda, Fatayat NU Ingatkan Tingginya Kasus Kekerasan Seksual

Sel, 30 November 2021 | 12:00 WIB

Kecewa RUU TPKS Tertunda, Fatayat NU Ingatkan Tingginya Kasus Kekerasan Seksual

Ketua Umum PP Fatayat NU Anggia Ermarini. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online 
Ketua Umum Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama Anggia Ermarini merasa kecewa dengan kinerja DPR yang kembali menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

 

"Saya terus terang kecewa dan prihatin karena pengesahan RUU ini kembali tertunda,” kata Anggi lewat pesan digital yang dikirimkan pada NU Online, Selasa (30/11/2021).

 

Anggi mengaku kecewa lantaran tingginya kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah menjadi fenomena gunung es. Masyarakat menantikan regulasi yang komprehensif untuk melindungi korban-korban kekerasan seksual.

 

“Kekerasan seksual adalah kasus kedua tertinggi dibanding kekerasan yang lainnya,” ujar Wakil Ketua Komisi IV DPR RI itu.

 

Anggi juga berpandangan banyaknya korban yang enggan melaporkan kekerasan seksual karena masalah sosial kultural di masyarakat. Misalnya, saat korban mengaku mendapat tindak kekerasan seksual alih-alih mendapat perlindungan justru malah disalahkan.

 

Nah, sistem hukum di kita ini belum mengenal persoalan itu sehingga korban seringkali mengalami reviktimisasi (menjadi korban berulang-ulang). Maka kita punya harapan yang besar terhadap RUU TPKS," ucapnya.

 

Kekerasan Seksual Menjadi Masalah Kritis

Sepakat dengan Anggi, Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU), Marzuki Wahid juga berharap agar UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) bisa segera disahkan. Ia menilai kasus kekerasan seksual di Indonesia merupakan masalah yang kritis.

 

"Saya pikir data soal (kekerasan seksual) itu sudah banyak. Karenanya tidak ada cara lain menghentikan kecuali dengan regulasi,” katanya.

 

Bahkan, Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon itu memandang bahwa kejahatan kekerasan seksual lebih berat dari tindak pidana korupsi. “Korupsi itu sudah jelas tindakan yang berat, tapi kekerasan seksual itu lebih berat dari korupsi," ujarnya.

 

Sebab, menurutnya, dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan korupsi masih bisa dipulihkan. Hal ini berbeda dengan dampak kekerasan seksual yang perlu rehabilitasi panjang untuk memulihkan kondisi korban.

 

"Trauma, kehormatan, kesucian, kemuliaan, martabat, itu tidak bisa dipulihkan. Makanya saya bilang kekerasan seksual lebih berat daripada korupsi," terangnya.

 

Nasib RUU TPKS Terancam Punah

Melansir laman resmi dpr.go.id, sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI akan memutuskan nasib Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) pada akhir bulan ini, tepatnya 25 November 2021 kemarin.

 

Wakil Ketua Baleg DPR, Willy Aditya, mengungkapkan RUU TPKS saat ini masih dalam penyusunan naskah. Menurutnya, Baleg DPR baru akan memutuskan apakah RUU TPKS bisa menjadi RUU inisiatif DPR atau tidak pada akhir bulan ini.

 

Harapannya RUU TPKS bisa segera disahkan menjadi rancangan regulasi atas inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR. Akan tetapi, setelah disetujui masuk program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2021, RUU TPKS yang kini masih dalam pembahasan di Baleg DPR ini mendapat penolakan dari sedikitnya lima fraksi.

 

Dari lima fraksi itu, dua fraksi di antaranya keberatan dengan judul. Pertama, ada usulan agar RUU TPKS diganti menjadi tindak pidana seksual. Kedua, usulan agar diganti menjadi tindak pidana asusila. Dua usulan judul itu akan berpengaruh pada materi dan konstruksi hukum. Padahal, RUU TPKS sejak awal dimaksudkan untuk mengatur kekerasan seksual.

 

Kontributor: Syifa Arrahmah 
Editor: Aiz Luthfi